Wilayah Dubai Makin Tergerus Padang Pasir

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Selain Burj Khalifanya, Dubai juga terkenal dengan wisata gurun pasirnya. Banyak turis berkunjung ke Dubai untuk mampir dan melihat gurun pasir di Dubai dengan menunggangi unta ataupun ATV.

Sampai saat ini, Dubai menjadi pusat wisata dan menjadi kota terpadat di Uni Emirat Arab (UEA). Sebagai pusat keuangan modern berpenduduk sekitar tiga juta orang, kota terpadat di Uni Emirat Arab (UEA) ini dikelilingi laut di satu sisi, dan di sisi lain oleh hamparan pasir yang tampak tak berujung.

Padang pasir? ya ternyata hamparan padang pasir ini menjadi masalah buat negara ini. Meski di padang pasir, mereka menemukan cadangan minyak yang cukup besar.  UEA memiliki luas wilayah 83ribu km² dengan 80 persen dari luas wilayah tersebut daratannya berupa gurun pasir. Hal ini menyebabkan kerapnya terjadi desertifikasi. Sebagian besar tanahnya mengalami tekanan dan membuat ekosistem di sana menjadi rapuh.

Wilayah UEA berukuran hampir sama dengan Portugal, tetapi sekitar 80 persen dari luas daratannya berupa gurun. Ekosistemnya rapuh dan lantaran terjadi penggurunan, sebagian besar tanahnya yang paling berharga mengalami tekanan yang terus meningkat.

Desertifikasi atau penggurunan yang terjadi mengancam pasokan makanan di UEA. Pada 2019, laporan dari pemerintahan menyatakan bahwa terjadi peningkatan populasi di  wilayah gurun ini. Hal tersebut kemudian menyebabkan degradasi lahan dan penggurunan makin parah.

Harus diakui, meski dapat terjadi karena iklim dan alami, penggurunan di UEA juga terjadi karena aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti penggembalaan, pertanian, intensif, dan pembangunan infrastruktur juga menjadi penyebab penggurunan.

Sekitar 12 juta hektare lenyap di seluruh dunia akibat dari kekeringan dan penggurunan setiap tahunnya. Dalam 20 tahun terakhir, fenomena hilangnya lahan berharga di UEA menjadi hal penting bagi negara tersebut.

Lahan pertanian di UEA di tahun 2002 sebesar 7,97 persen dan pada tahun 2018 menjadi 5,38% saja. Tanah subur seluas 75.000 hektar berkurang menjadi 42.300 hektar dalam jangka waktu 16 tahun.

Pemanfaatan minyak pada 1970 di UEA terjadi tanpa banyak mempertimbangkan dampak lingkungan yang akan muncul. Ternyata WWF (World Wide Fund for Nature menempatkan UEA sebagai negara yang memiliki jejak ekologi terburuk per orang pada tahun 2008.

Para pengambil keputusan di UEA turut prihatin dengan bagaimana nantinya kekayaan mereka akan dipertahankan ketika minyak mereka mulai mengering.

Pada 2012, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri UEA dan penguasa Dubai, mengumumkan strategi pertumbuhan hijau UEA guna “menjaga lingkungan yang berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang” dan membangun ekonomi negara itu yang berwawasan lingkungan.

Sebelumnya pada 2010, Sheikh Mohammed meluncurkan inisiatif ‘Satu Juta Pohon’, yang bertujuan untuk menanam satu juta pohon dalam upaya meningkatkan area hijau di kota dan menghentikan penggurunan. Namun, menurut Hamza Nazzal, perwakilan Green Land, perusahaan yang mengembangkan proyek terseut, pohon-pohonnya mati dan proyek ini gagal total.

Nazzal mengatakan proyek itu tak berlanjut setelah Dubai Holding, sebuah perusahaan investasi milik pemerintah, mengumumkan pengembangan beberapa proyek real estat di tanah yang sama. Akhirnya proyek itu terhenti. 

Pemerintah memang sudah menyiapkan sejumlah inisiatif di sekitar Dubai, baik membangun manufaktur yang ramah lingkungan, sampai membuat lahan-lahan subur dengan penyulingan air laut.

Namun, permasalahan lingkungan yang ada di Dubai juga masih jauh dari kata selesai, terutama mengenai desertifikasi. Kekeringan, penggunaan SDA yang berlebihan, laju kota yang cepat, dan peningkatan salinitas tanah menjadi resiko besar untuk Dubai.

Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah penanaman pohon. Secara ekologis, beberapa pohon tidak cocok dengan lingkungan di UEA. UEA harus cerdas dalam menggunakan persediaan air yang sedikit untuk menjaga pohon agar tetap hidup.

Sebuah teknologi startup hijau, Desert Control di Norwegia menawarkan cara menanggulangi penggurunan dengan menyebarkan nanopartikel tanah liat alami untuk mengubah pasir gurun menjadi tanah subur. Teknologi ini bekerja dengan menyemprotkan cairan yang terbuat dari air dan tanah liat ke tanah yang kering dan rusak, menciptakan lapisan sedalam sekitar 50 cm (20 inci).

Cairan nanopartikel tidak hanya mengairi tanah, tetapi memastikan air dapat bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu panjang, dan memungkinkannya untuk menyimpan lebih banyak nutrisi. Akibatnya, tanah yang kekurangan mineral dapat diberikan kehidupan baru. Teknologi ini menunjukkan kemungkinan pembentukan tanah dalam kondisi lingkungan yang sulit, kata Daniel Evans, yang meneliti sistem lahan berkelanjutan di Cranfield Soil and Agrifood Institute di Inggris.

Namun, menggunakan tanah liat alami cair untuk menumbuhkan sejumlah besar pohon di Dubai akan menjadi tugas besar. Anne Verhoef, fisikawan tanah di University of Reading, mengatakan bahwa meskipun tanah liat cair alami pada prinsipnya, merupakan peluang yang sangat menarik masih ada pertanyaan seputar kepraktisan dan kelayakannya. Misalnya, penggunaan air asin dapat memengaruhi apakah tanah tetap sehat dan cocok untuk pertanian dalam jangka panjang

Reporter: Dinda Nurshinta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Semua Pihak Perlu Bersinergi Wujudkan Pilkada Damai

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan momen penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Pilkada tidak hanya sekadar agenda politik,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini