Ternyata, Inilah Sebab Runtuhnya Uni Soviet

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – 26 Desember 1991 menjadi tanggal keruntuhan negara komunis terbesar pada masanya, Uni Soviet. Di tanggal itu pula, negara saingan Amerika Serikat ini mengakui secara resmi kemerdekaan 15 Republik yang sebelumnya berada di dalam Uni Soviet.

Sehari sebelumnya, Mikhail Gorbachev, presiden Uni Soviet, secara resmi menyatakan pengunduran dirinya. Dan setelahnya, bendera merah berlambang palu arit yang menjadi simbol negara paling kuat di dunia, turun dari Istana Kremlin.

Gorbachev, Presiden terakhir Uni Sovyet
Gorbachev, Presiden terakhir Uni Sovyet

Gorbachev sebagai Ketua Partai Komunis Sovyet yang juga presiden terakhir, mulai menjabat saat usianya 54 tahun, yakni sejak tahun 1985. Pasca penobatannya, ia menetapkan serangkaian reformasi baru yang bertujuan untuk memajukan kehidupan rakyat Soviet.

Adapun reformasi tersebut adalah Perestroika (restrukturisasi dan pembangunan kembali) dan Glasnost (keterbukaan dan kebebasan berbicara). Namun, reformasi dan kebijakan yang Gorbachev masih kurang efektif untuk mengatasi persoalan yang ada di dalam negeri.

Untuk mengetahui secara lebih jelas, inilah beberapa penyebab runtuhnya Soviet:

  1. Faktor Ekonomi

Tak seperti sistem perekonomian di negara lain, sistem perekonomian Uni Soviet ini terpusat. Dan nyatanya, hal inilah yang menjadi masalah terbesar di bekas negara komunis ini.

Sebagai penganut sistem perekonomian secara terpusat, Uni Soviet mengatur jumlah ketersediaan produksi barang dan pangan. Seperti produksi mobil, produksi sepatu, hingga produksi roti. Negaralah yang mengatur jumlah barang untuk kebutuhan rakyatnya, berapa biaya yang harus keluar, dan berapa banyak orang yang mendapat bayaran.

Pemerintah Soviet berharap sistem seperti ini dapat menciptakan efisiensi dan keadilan. Namun realitanya hal ini malah mempersulit keadaan lantaran pasokan kebutuhan pokok tidak dapat memenuhi permintaan.

Rakyat di sana tidak benar-benar miskin, namun mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhan pokok karena terbatasnya pasokan barang. Untuk membeli pakaian hangat saja mereka harus antre berjam-jam, itupun tak menjamin mereka mendapatkan barang yang mereka butuhkan karena ukurannya telah habis terjual.

Yang makin memperburuk keadaan adalah biaya eksplorasi ruang angkasa dan biaya perlombaan senjata antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang dimulai pada akhir 1950-an.

Untuk membiayai perlombaan tersebut, Uni Soviet harus mengandalkan sumber daya alamnya, seperti minyak dan gas. Namun keduanya tidak dapat terus-menerus diandalkan karena di awal tahun 1980-an harga minyak jatuh dan makin menggoyahkan perekonomian Uni Soviet

Menyiasati hal ini, Gorbachev membuat beberapa kebijakan pasar, tetapi kebijakan tersebut dinilai terlalu berat untuk Uni Soviet, terbukti dari masih adanya inflasi yang meroket dan masih langkanya barang-barang konsumsi.

Di tahun 1990, pemerintah kembali membuat reformasi moneter, namun tetap saja langkah itu tidak dapat membantu. Yang terjadi malah menciptakan kekecewaan rakyat terhadap pemerintah.

Hingga kini, kejadian yang terjadi puluhan tahun yang lalu masih menyisakan ketakutan bagi rakyat pasca-Soviet. Mereka masih mengkhawatirkan kelangkaan barang-barang konsumsi yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu.

  1. Faktor Ideologi

Selama puluhan tahun, Uni Soviet melakukan penindasan rezim agar rakyatnya selalu tunduk pada kebijakan pemerintah.  Rakyat pun takut untuk menyampaikan pendapat.

Kebijakan semacam ini membuat rakyat menggantungkan hidupnya pada negara lantaran mereka harus selalu taat terhadap berbagai aturan pemerintah. Kondisi ini melahirkan konflik di Uni Soviet, yang pada akhirnya mengakibatkan kematian jutaan orang.

  1. Faktor Nasionalisme

Sebagai negara multinasional, Uni Soviet memiliki 15 Republik, yang masing-masing memiliki hak yang sama sebagai negara-negara persaudaraan. Luasnya wilayah ini membuat Uni Soviet memiliki kebudayaan dan bahasa yang beragam.

Namun sayangnya, keragaman tersebut justru membuat Uni Soviet tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Beberapa negara bagian yang tidak menyukai kinerja pemerintahan pusat Soviet, melakukan gerakan sporadis menyerang pemerintah pusat.

Mereka menuntut hak agar dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan internal negara Soviet mulai goyah dan rusaknya ideologi Soviet sebagai keluarga bangsa-bangsa.

  1. Faktor Kekecewaan Terhadap Kepemimpinan Gorbachev

Selama ini, Gorbachev hanya fokus pada penanganan bantuan terhadap negara-negara lain. Ia mendapat pujian berkat penanganannya terhadap Perang Dingin. Ia juga berhasil berdamai dengan negara-negara Barat.

Gorbachev bagaikan pahlawan bagi negara luar. Namun di dalam negerinya ia mendapat hujatan dan kritikan karena  tidak mampu memperbaiki kondisi negaranya sendiri. Kaum konservatif menganggap Gorbachev terlalu bertindak jauh, sementara kaum reformis menganggap Gorbachev tidak memiliki inisiatif.

Hingga akhirnya pada Agustus 1991 kaum konservatif melakukan kudeta untuk menggulingkan kekuasaan Gorbachev. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Uni Soviet dari pemerintahan yang tidak sejalan.

Namun ternyata, pengkudetaan itu malah makin mempercepat kehancuran Soviet. Di masa-masa tersebut, muncul para pemimpin lokal di sisa Uni Soviet, seperti Boris Yeltsin di Rusia.

Pasca kemunculan Yeltsin, bulan-bulan berikutnya, 15 Republik yang berada di dalam Uni Soviet mengadakan referendum kemerdekaan mereka. Akhirnya, pada 26 Desember 1991 nasib Soviet berakhir dan 15 Republik pun merdeka.

BBC/Reporter: Intan Nadhira Safitri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sambut Hari HAM Ius Humanum Gelar Talk Show soal “Perlindungan Terhadap Pekerja Non Konvensional : Pekerja Rumah Tangga”

Mata Indonesia, Yogyakarta - Dalam rangka menyambut peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada 10 Desember 2024, kali ini Ius Humanum menyelenggarakan Talkshow dan Diskusi Film dengan Tema, "Perlindungan terhadap Pekerja Non-Konvensional : Pekerja Rumah Tangga" yang bertempat di Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY).
- Advertisement -

Baca berita yang ini