Tak Hanya Jadi Panitia Agustusan, Karang Taruna Juga Membuat UKM

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Karang Taruna merupakan organisai pemuda yang melakukan berbagai macam kegiatan sosial. Kegiatan sosial tersebut bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat, khususnya di daerah Karang Taruna tersebut ada. Salah satu kegiatannya, yaitu membuat usaha kecil menengah (UKM).

Setiap Karang Taruna memiliki kegiatan UKM yang berbeda-beda. Seperti pada Karang Taruna Kedaung Raya merupakan organisasi pemuda yang berada di Kelurahan Kedaung, Kota Tangerang Selatan. Anggota Karang Taruna Kedaung Raya melakukan berbagai macam kegiatan sosial, dan juga membuat UKM. Tujuannya untuk dapat menyejahterakan masyarakat khususnya di Kelurahan Kedaung.

UKM Karang Taruna Kedaung Raya baru saja meluncurkan usaha baru mereka. ”Kita baru saja meluncurkan produk UKM, yaitu sabun cuci piring, pembersih lantai, madu, dan sablon Karang Taruna,” ujar Ketua Karang Taruna Kedaung Raya, Hamzah Wahyu Imami, kepada Mata Indonesia.

Meskipun usaha kecil-kecilan, namun dapat memberikan manfaat yang positif bagi para anggota serta masyarakat setempat.

Demikian juga dengan Karang Taruna Genting Kalaianak, Kota Surabaya. Anak-anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna ini mendirikan stand di Wisata Sontoh Laut saat memperingati Hari Sumpa Pemuda. Kegiatan UKM ini memanfaatkan tempat wisata. Terbukti, stand mereka mengundang banyak pengunjung yang ingin membeli makanan dan minuman. Hasil dari penjualan di stand Wisata Sontoh Laut dimasukan kedalam kas yang nantinya digunakan untuk berbagai acara sosial.

Kemudian, kegiatan UKM pada Karang Taruna Provinsi Sulsel. Anak-anak muda di Karang Taruna ini membuat UKM yang fokus pada usaha kuliner. Produk yang dijual, yaitu ikan asin, kripik kentang, kripik pisang, kopi Mamasa, kue-kue tradisional khas Surabaya dan beberapa usaha kreatif di bidang kuliner. Dengan target pasar tradisional serta pasar modern.

Reporter: Marlita Nursanti

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspadai Provokasi Indonesia Cemas Soal Literasi Siswa

Oleh : Herman Firmansyah )* Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai rendahnya literasi siswa Indonesia sering kali diangkat dalam berbagai media dengan narasi yang cukupmengkhawatirkan. Judul-judul seperti “Indonesia Cemas”, “Krisis Literasi”, atau“Darurat Membaca” kerap menghiasi pemberitaan dan menyebar di media sosial. Meskipun data dari berbagai survei memang menunjukkan bahwa kemampuanliterasi siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan, penting bagi kita untuk tidakterjebak dalam narasi provokatif yang justru melemahkan semangat perubahan. Sebaliknya, kita harus membangun optimisme dan kesadaran kolektif untukmemperkuat budaya literasi secara inklusif dan berkelanjutan. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Irwan Akib mengatakan keberhasilanpendidikan hari ini akan sangat menentukan kesiapan generasi muda menghadapimasa depan bangsa. Guru dan murid harus memiliki kesiapan iman yang kuat, yang berakar pada ajaran tauhid. Ajaran tauhid bukan sekadar pengucapan dua kalimatsyahadat, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasukdalam semangat menuntut ilmu untuk menghapus kebodohan. Pihaknya jugamengingatkan pentingnya etika dalam penggunaan media sosial, menjaga akhlak, serta menjadikan sekolah sebagai pusat pembentukan generasi inovatif, kreatif, danberakhlak mulia. Perlu disadari bahwa persoalan literasi bukan hanya persoalan Indonesia semata. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam menyetarakanakses pendidikan berkualitas, meningkatkan kompetensi guru, dan membangunekosistem belajar yang mendukung keterampilan abad ke-21. Oleh karena itu, membingkai kondisi literasi Indonesia secara berlebihan dengan narasi “krisispermanen” justru bisa mematikan inisiatif lokal yang sedang bertumbuh. Di berbagaipelosok negeri, banyak sekolah, guru, komunitas, dan orang tua yang berjuangkeras untuk menumbuhkan minat baca anak-anak mereka dengan cara-cara yang kreatif dan kontekstual. Sayangnya, upaya mereka kerap tenggelam di tengahriuhnya wacana pesimistis. Narasi “Indonesia Cemas” yang terkesan membesar-besarkan kekurangan justrubisa menjadi bumerang. Ia bisa melemahkan rasa percaya diri siswa dan guru, mengerdilkan potensi daerah, serta menciptakan pandangan bahwa pendidikanIndonesia sudah gagal secara sistemik. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleksdan penuh harapan. Indeks literasi bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilanpendidikan. Kemampuan memahami teks memang penting, namun begitu pula dengan karakter, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan nilai-nilai kebhinekaanyang juga menjadi tujuan pendidikan nasional. Maka, pendekatan yang lebih bijakadalah dengan menjadikan hasil survei sebagai pemicu refleksi dan perbaikan, bukan alat untuk menyebar kecemasan berlebihan. Penting juga untuk melihat bahwa literasi bukan semata-mata kemampuanmembaca buku, tetapi menyangkut kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk untuk memecahkan masalahsehari-hari. Dalam konteks ini, transformasi digital yang sedang berjalan di Indonesia membuka peluang besar untuk memperluas akses dan bentuk literasi. Siswa kini bisa belajar dari video edukatif, podcast, e-book, forum diskusi, danberbagai platform daring lainnya. Literasi abad ke-21 membutuhkan pendekatanyang adaptif dan kontekstual, bukan sekadar penguasaan teks tertulis. Sementara itu, Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru mengatakan pihaknyaberkomitmen dalam menyambut tantangan bonus demografi 2045 melalui program Pendidikan Karakter Laskar Pandu Satria. Program ini menyasar siswa SMA/SMK dari berbagai kabupaten/kota di Sumsel. Program ini telah mendapat dukungan luasdari orang tua siswa. Mereka menilai kegiatan ini sebagai bentuk perhatian nyatadari pemerintah terhadap masa depan anak-anak. Di lain, balik kekhawatiran yang kerap dimunculkan, sebenarnya terdapat banyakinisiatif positif yang perlu mendapatkan ruang lebih besar dalam pemberitaan. Gerakan literasi sekolah, pojok baca, perpustakaan digital, komunitas baca mandiri, serta dukungan dari dunia usaha dan organisasi non-profit telah banyak memberikandampak nyata dalam meningkatkan budaya literasi di tingkat lokal. Pemerintah pun tak tinggal diam. Melalui program Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka, upayapeningkatan kualitas pendidikan semakin diarahkan pada penguatan kompetensidasar, termasuk literasi. Kurikulum ini memberikan fleksibilitas bagi guru untukmenyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, yang padagilirannya berkontribusi pada meningkatnya minat dan pemahaman siswa terhadappelajaran. Tentu saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun, kitaharus tetap percaya bahwa perubahan sedang dan terus berlangsung. Menghadapitantangan literasi bukan dengan ketakutan dan kegaduhan, tetapi dengan kolaborasidan optimisme. Kita butuh lebih banyak cerita inspiratif tentang anak-anak di pedalaman yang belajar dengan semangat tinggi, guru-guru...
- Advertisement -

Baca berita yang ini