MATA INDONESIA, JAKARTA – Pada 30 September 1965, malam hingga dini hari menjadi saksi bisu penculikan hingga pembunuhan enam jendral dan satu perwira Angkatan Darat di Jakarta. Hari itu sampai sekarang disebut dengan Gerakan 30 September (G30S).
Tiga hari kemudian tubuh para korban ditemukan di sumur Lubang Buaya, sebuah tempat di kawasan Cipayung, Jakarta. Autopsi pun di salah satu rumah sakit tantara pada 4 Oktober. Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto menandatangani hasil autopsi tersebut.
Dalam autopsi disebutkan kematian enam perwira Angkatan Darat ini karena tembakan senjata api, pukulan dari senjata maupun benda tumpul. Kerusakan tubuh pada jenazah sejumlah jenderah karena mereka terkubur cukup lama di dasar sumur.
Sayangnya, temuan dokter forensik ini tak disebarkan maupun dipublikasikan ke media. Hasil autopsi ini baru muncul di muka publik setelah salah satu sosiolog, Ben Anderson mempublikasikannya melalui tulisan pada 1987 yang berjudul “How Did The Generals Die”.
Saat itu, nyatanya pemerintah menyebarkan informasi dan cerita yang amat berbeda dengan fakta ke khalayak. Salah satu surat kabar, Harian Angkatan Bersenjata, menerbitkan foto-foto jenazah dan menyebutkan bahwa kematian tersebut merupakan “perbuatan biadab berupa penganiayaan di luar batas kemanusiaan”.
Sementara itu, surat kabar tantara lainnya, Berita Yudha mencatat bahwa “bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat dari siksaan sebelum ditembak” masih membalut tubuh korban.
Pemberitaan surat kabar tantara ini memicu media massa lain untuk memberitakan dan menggambarkan bahwa para perempuan menggoda para jenderal dengan tarian tanpa busana yang erotis, disertai dengan lagu latar Genjer-genjer. Setelah melakukan hal tersebut, para perempuan penggoda mulai mengebiri dan mencungkil mata para jenderal.
Informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya ini mulai menyebar ke media massa lain. Sehingga banyak terdapat cerita-cerita bohong terkait penyiksaan seksual dan pengebirian oleh anggota Gerwani. Hal inilah yang membuat munculnya dendam dan berakibat pada kekerasan pada perempuan anggota Gerwani.
Mudjati adalah salah satu perempuan korban propaganda Orde Baru. Pada tahun 1965, saat itu ia masih belia sekitar 17 tahun. Mudjati aktif dalam organisasi Pemuda Rakyat, salah satu organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Hanya dalam hitungan minggu setelah peristiwa mencekam tahun 65 tersebut, ia langsung ditahan tanpa proses pengadilan. Ia baru dapat merasakan udara bebas 14 tahun menghabiskan masa mudanya di dalam penjara, pada Desember 1979.
Yosephina Endang Lestari juga mengalami hal serupa. Saat itu, ketika pemeriksaan, para tantara mencap dirinya sebagai anggota Gerwani. Ia diminta untuk menanggalkan pakaian, namun tak ada yang berhasil menemukan cap tersebut.
Sama seperti Mudjiati. Ia dipindahkan dari satu tahanan ke tahanan lain. Ia juga sempat ditahan di Penjara Wirogunan di Yogyakarta selama dua pekan dengan berbagi ruangan kecil bersama 30 tahanan lain.
Pada April 1966, Endang dipindahkan ke Benteng Pendhem Ambarawa di Jawa Tengah, benteng Fort Willem I yang dialih fungsikan menjadi tempat tahanan tapol dan tahanan militer.
Endang menceritakan, di tempat tahanan tersebut tak ada yang membesuk sama sekali. Mereka dipisahkan dengan sawah dan kawat berduri yang berjarak sekitar 30 meter.
Lain halnya dengan Mudjiati dan Endang, Magdalena Kastina justru mengalami kekerasan bertububi-tubi, mulai dari pelecehan sesual hingga kekerasan fisik. Salah satu kekerasan yang masih teringat dan menghantuinya adalah ketika pemeriksaan berlangsung, penjaga menusuk dadanya dengan besi berulang kali untuk membersihkan senjata.
Apa yang dialami oleh ketiga perempuan tersebut juga dialami oleh perempuan lain dengan tudingan yang sama, yaitu terlibat dalam peristiwa 65. Seorang antropolong Universitas Amsterdam, Saskia Wieringa meneliti peristiwa kelam tersebut
Saskia mengungkapkan “Dimana-mana, perempuan yang pernah ikut dengan Gerwani diperiksa dan dipenjarakan. Mereka ditelanjangi seolah-olah mencari cap gerwani pada tubuh. Perempuan dari organisasi lain juga di-Gerwani-kan bahkan sampai diperkosa”.
Kekerasan berbasis gender yang dialami oleh para tapol perempuan tersebut disebut sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” oleh Komnas Perempuan. Hal ini merujuk pada hasil pemantauan terhadap 122 perempuan penyintas dan 65 orang yang memberikan kesaksian.
Secara keseluruhan, peristiwa kelam tahun 65 membuat belasan ribu orang dipenjara, dibuang, ataupun disiksa. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang telah hilang dan beberapa tempat ditemukan sebagai lokasi pembantaian para korban.
Propaganda yang berpusat pada “penyimpangan seksual anggota Gerwani” menggambarkan bahwa PKI sebagai ateis dan anti-nasionalis memicu pembunuhan massal hingga penghancuran gerakan peremuan progesif.
Gerwani saat itu nyatanya merupakan organisasi wanita yang berhasil memberantas masalah buta huruf dan pendirian beberapa sekolah. Organisasi ini juga menuntut hak-hak perempuan, termasuk terkait masalah poligami. Gerwani menjadi organisasi paling aktif dalam politik nasional juga isu internasional.
Apa yang diakibatkan fitnah seksual tersebut melahirkan stigma dan trauma para perempuan korban propaganda Orde Baru dan juga generasi penerusnya.
Seperti halnya dengan Uchikowati Fauzia. Ia mendapatkan stigma dan label sebagai anak PKI dan Gerwani. Orang-orang memandang bahwa anak dari ibu yang seorang Gerwani itu memiliki moral yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Stigma yang diberikan masyarakan membuat Uchi dan anak-anak tapol lainnya ketakutan dan merasa berbeda dari teman-teman lainnya. Trauma dan stigma terus ditanggung olehnya hingga kini, saat usia sudah menua.
Reporter: Shafira Annisa