Oleh : Dahlan Iskan, Mantan Dirut PLN
Sepele sekali kelihatannya. Hanya gara-gara satu pohon sengon listrik seluruh Jakarta, Jawa Barat (Jabar) bahkan sebagian Jawa Tengah (Jateng) padam, Minggu 4 Agustus 2019 hingga Senin 5 Agustus 2019.
Pohon sengonnya ada di Desa Malon, nun jauh di Gunung Pati yang berjarak 28 km selatan Semarang. Tetapi, listrik mati sampai Jakarta.
Maka pohon sengon itu perlu diabadikan. Fotonya dipasang di seluruh kantor PLN sebagai monumen pengingat dari generasi ke generasi.
Jika dihitung kerugian yang ditimbulkannya, maka sengon itu menjadi yang termahal di dunia, karena sudah membuat berjuta-juta orang menderita. Kereta bawah tanah yang masih baru juga ikut lumpuh sehingga memaksa penumpangnya dievakuasi. Presiden Jokowi sampai marah karenanya.
Bahkan PLN sendiri sampai harus mengeluarkan ganti rugi kepada konsumen yang nilainya sampai Rp 1 triliun.
Luar biasa, satu pohon sengon di sebuah desa mampu menggegerkan mayapada. Tetapi pohon sengon itu tidak salah.
Dia tumbuhnya di dalam pagar penduduk. Tapi menjulang sangat tinggi sehingga hampir menyentuh kawat Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang menggelayut setinggi 18 meter, namun sudah berada di area medan magnet SUTET.
Kita juga boleh mempertanyakan seputar sengon dan SUTET itu. Mengapa dibiarkan tumbuh tinggi di situ? Mengapa tidak ada yang tahu? Apakah tidak ada lagi anggaran untuk patroli pohon? Mengapa biaya operasi dan pemeliharaan harus di bawah anggaran SDM? Mengapa SUTET itu begitu rapuh? Hanya kesenggol satu pohon sudah pingsan?
Itulah, mengapa tidak boleh ada pohon dekat SUTET. Jangankan sampai menyenggolnya, memasuki medan magnetnya pun sudah mengganggu, bisa korsleting dan mengakibatkan arus listrik terhenti.
Namun pertanyaan tidak berhenti sampai di situ. Pertanyaan selanjutnya mengapa korsleting di selatan Semarang, padamnya di Jakarta dan Jabar?
Makan Listrik Paling Besar
Kita tahu orang Jakarta itu makan listriknya paling besar. Apalagi ditambah daerah industri sekitarnya: Tangerang, Bogor, Bekasi, Karawang. Padahal pembangkit listrik terbesarnya ada di Jawa Timur (Jatim). Di Paiton.
Maka harus ada pengiriman listrik dalam jumlah besar dari Jatim ke Jakarta sekitar 3000 MW. Tepatnya saya sudah lupa.
Listrik sebesar itu hanya bisa dikirim lewat SUTET yang tegangannya 500 kVA. Ibarat kirim air, selangnya harus sangat besar.
Kian tinggi tegangannya kian luas medan magnetnya. Karena itu harus ada sempadan yang lebar. Di sepanjang jalur SUTET tidak boleh ada tanaman tinggi. Dalam istilah kelistrikan sempadan itu disebut ROW (Right of Way).
Untuk mengawasi ROW itu dahulu selalu ada patroli untuk mengetahui apakah sudah mulai ada gejala pohon yang mengganggu SUTET. Patroli itu tidak harus setiap hari karena pohon tidak bisa mendadak tinggi.
Kalau sekarang tiba-tiba diketahui ada pohon sengon yang mengganggu SUTET hingga merugikan puluhan juta orang, pertanyaannya: apakah anggaran patroli masih ada? Atau manajemen patrolinya yang lemah? Atau patroli sudah dilakukan, laporan sudah dibuat, tapi tidak ada anggaran penebangan pohon? Sesederhana itu menganalisisnya.
Ada juga unsur nasib.
Kondisi Pulau Jawa itu sebenarnya sudah aman. Biar pun sebagian besar pembangkitnya ada di Jatim, namun dua jalur SUTET di Utara dan Tengah Jawa sanggup mengantarkan listrik dalam jumlah besar dalam waktu relatif cepat dari ujung timur ke ujung barat Jawa.
Kalau pun ada gangguan di jalur utara seperti itu sebenarnya tidak ada masalah. Arus listriknya bisa otomatis pindah ke SUTET jalur tengah.
Jadi pohon sengon itu bukan satu-satunya tersangka. Memang nasib PLN lagi apes terutama Plt Dirutnya yang masih baru, belum sampai 24 jam sebelum peristiwa tersebut.
Apes lainnya, Hari Minggu itu SUTET jalur tengah sedang dalam perbaikan, tepatnya di timur Tasikmalaya. SUTET-nya dimatikan.
Pertimbangannya juga sangat rasional: pada hari Minggu beban listrik di sekitar Jakarta turun drastis. Cukup dilayani jalur utara.
Sayang, kok sengon itu begitu jahatnya –bergoyang di hari Minggu itu. Jadi lah SUTET Utara kena sengon. SUTET tengah lagi diperbaiki.
Akibat hilangnya pasokan dari dua SUTET tadi beban listrik kacau sekali. Pembangkit-pembangkit listrik di wilayah barat pun mati satu-persatu. Terjadilah bencana itu.
Kenapa begitu lama?
Ini sudah menyangkut manajemen recovery. Hanya PLN yang tahu.
Namun ada pertanyaan kecil dari peristiwa itu: di mana pasukan ‘Kopassus’-nya P2B yang bisa memelihara SUTET tanpa harus mematikan sistem itu?
Apakah diibubarkan? Tidak diteruskan? Tidak dikembangkan? Tidak ada anggaran?
Saya masih ingat. Peresmian pasukan itu dilakukan besar-besaran. Di Monas. Dengan demo cara-cara memelihara SUTET. Tanpa mematikannya.
Memang sangat berisiko, tetapi peralatannya khusus. Baju dan kepandaiannya khusus sehingga kita juluki ‘Kopassus’-nya PLN.
Di PLN, P2B juga merupakan departemen khusus. Itulah yang mengatur seluruh sistem listrik di Jawa. Isinya orang-orang istimewa. Ahli-ahli listrik.
Saya menyebutnya ‘otak’-nya listrik. Departemen itulah yang mengatur seluruh sistem kelistrikan di Jawa. Dulu kadang saya dikritik terlalu mengistimewakan P2B.
Tetapi saya tidak peduli. Saya sudah biasa mengistimewakan redaksi dalam seluruh organisasi surat kabar.
P2B di bawah siapa?
Organisasi PLN sekarang sudah beda. Di Jawa ada tiga direksi. Direktur Jatim/Bali, Direktur Jateng/DIY dan direktur Jabar/DKI.
P2B punya posisi yang tidak jelas tidak di bawah koordinasi ketiga direktur itu. Mungkin sudah diatur. Orang luar seperti saya tidak bisa melihat.
Sejatinya P2B itu perlu terus berkoordinasi. Setiap tiga bulan mereka harus rapat untuk mengevaluasi perkembangan sistem di Jawa.
Adakah rapat itu masih ada atau sudah ditiadakan? Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa yang bisa dihapus demi penghematan. Demi laba.
Memang ironi: listrik itu baru diingat justru di saat ia mati.
07 August 2019