MATA INDONESIA, JAKARTA – Bukan kali pertama terjadi perang gaya antar generasi. Setiap generasi pasti memiliki mode dan rambut untuk memuat tanda yang unik bagi mereka. Itulah yang sekarang terjadi Generasi Z menggugat Generasi Milenial.
Seorang Tiktoker membagikan video yang menurut mereka lucu dengan mengatakan lebih baik menjadi tunawisma daripada harus mengenakan skinny jeans. Sebenarnya, hal ini justru membuat mereka terlihat buruk. Tiktoker yang berasal dari Generasi Z ini menyerang gaya berpakaian seseorang hanya karena mereka tidak menyukainya.
Generasi Z telah mengkritik aspek gaya Generasi Milenial yang dianggap biasa-biasa saja. Ada semacam perlawanan yang dilakukan anak-anak muda generasi Z ini terhadap kakak mereka anak-anak milenial. Dalam prosesnya, Generasi Z memiliki sikap ceplas-ceplos, bangga terhadap diri sendiri dan mengurangi reaksi emosional yang umumnya terjadi pada Generasi Milenial.
Gaya merupakan penanda yang memungkinkan seseorang melihat perbedaan antara generasi penggerak tren sebelumnya dengan generasi terbaru. Ini yang menjadi pertanda kapan suatu generasi akan berakhir dan kapan generasi baru akan lahir.
Pertentangan seperti ini telah membentuk evolusi berpakaian di sepanjang abad ke-20. Seorang dosen di Parsons School of Design, Jessica Glasscock mengatakan bahwa fashion adaalah cerita dari budaya anak muda. Gaya adalah alat anak muda pada setiap generasi untuk membangun dan mengekspresikan sudut pandang mereka.
Di Amerika contohnya. Dahulu terdapat gaya perempuan muda yang terkenal dengan korset berbentuk S, lengan baju yang menggembung, blus setinggi pinggang dan gaya rambut mengjulang tinggi pada saat itu.
Adapun gaya flapper bebas, mengarah ke gaya maskulin dan pemuja jazz menggantikan posisi generasi sebelumnya terkait busana. Flapper mempopulerkan gaya baru yang kontroversial dengan mengatasnamakan kebebasan bergerak.
Flappers yang dianggap sebagai anak muda yang norak dan bebas oleh generasi sebelumnya memicu kemarahan dengan potongan rambut mereka yaitu gaya bob. Perempuan pada masa itu menganggab bahwa rambut adalah mahkotanya dan merupakan penolakan tegas terhadap gender.
Beberapa tahun setelahnya, industry fashion terguncang ketika Christian Dior memperkenalkan gaya “New Look”. The New Look menyandingkan jaket dengan bahu bulat, pinggul padat dan pinggang sempit berpadu rok lingkaran lebar.
The New Look menggambarkan kesegaran dan berbunga mencerminkan lonjakan kelahiran bayi yang lebih lembut di seluruh mode arus utama sehingga menjadi identik dengan mode domestic di pinggiran kota saat tahun 50-an.
Perancang Mary Quant dengan gayanya yang unik dan penuh warna menjadi ciri khas pada tahun 60-an. Suatu pergeseran yang benar-benar mengejutkan mode anak muda, rok mini Quant sebenarnya memudahkan gerak bagi para perempuan muda.
Di tahun 1970-an, pembebasan yang sebutannya “genderbending” tampaknya menjadi tren orang-orang dalam budaya “hippy” tahun 60-an. Kaum muda di tahun 1970-an berhasil membuat jeans yang sempat membuat panik seluruh generasi orang tua dari tahun 1950-an. Mereka menyebutkan bahwa gaya tersebut dengan remaja pemberontak dan subkultur rocker.
Gaya tahun 80-an mementingkan penampilan yang mengakibatkan gelombang kegilaan yang telah memunculkan beberapa gaya anak muda. Baju ketat berpotongan tinggi, celana pendek, penghangar kaki dan scrunchies.
Di tahun 90-an, gerakan grunge Gen-X mematikan gaya glamour dari generasi 80-an yang dulunya merupakan subkultur, penampilan kemeja flannel yang “anti fashion”. Generasi X menyukai gaya grunge yang terlihat seperti agak terlantar.
Perdebatan antara Gen-Z dan generasi milenial terkait gaya berpenampilan merupakan aspek yang tidak dapat terelakkan. Peneliti dan penulis Gen-Z, Corey Seemiller mengklarifikasikan bahwa perbedaan paling signifikan dalam gaya bukanlah terntang pakaian atau penampilan, melainkan etika konsumsi.
Gen Z menyukai membeli pakaian bekas. Hal ini bukan karena mereka tak mampu, tapi hanya menunjukkan komitmen lingkungan untuk tidak segera membuang barang ke tempat sampah.
Reporter: Shafira Annisa