Oleh: Landres Octav Pandega *)
Peringatan Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2025, menjadi momentum penting untuk menegaskan bahwa Indonesia memilih jalur yang konstruktif dan solutif membumikan HAM sebagai panduan kerja negara. Sikap ini tercermin jelas melalui inisiatif Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) HAM Nasional yang digagas Kementerian HAM. Menteri HAM Natalius Pigai menempatkan HAM bukan sekadar wacana normatif, melainkan aset kebijakan yang harus diintegrasikan ke seluruh tahapan pembangunan. Artinya, hak asasi tidak berhenti pada seruan moral, tetapi hadir sebagai arah, ukuran, dan instrumen untuk memastikan pelayanan publik semakin manusiawi baik dari pusat hingga daerah.
Desain Musrenbang HAM disusun rapi dan berorientasi hasil. Tiga komisi pengarusutamaan; pemajuan dan pemenuhan; serta pelindungan dan penegakan, akan mengolah masukan lintas lembaga dan pemerintah daerah. Sebelum sesi komisi, peserta mendapatkan penguatan substansi dari Bappenas dan Kemendagri agar rekomendasi terkait target, indikator, dan tata kelola benar-benar sinkron dengan mekanisme perencanaan nasional. Sekretaris Jenderal Kemenham, Novita Ilmaris, menegaskan keluaran yang diincar bukan dokumen seremonial, melainkan rekomendasi dan rencana tindak lanjut (RTL) yang diserahkan resmi kepada Bappenas serta Kemendagri sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menghadirkan HAM sebagai arus utama, bukan catatan pinggir.
Di tingkat internasional, pemerintah juga menata langkah yang visioner. Wakil Menteri HAM Mugiyanto memaparkan inisiatif Asia Pacific Human Rights Ministerial Forum sebagai sarana dialog kawasan yang konkret dan saling belajar. Australia melalui Special Envoy forInternational Human Rights Mark Dreyfus menyatakan dukungan atas inisiatif KemenHAM, mulai dari forum menteri HAM Asia Pasifik hingga kemungkinan Indonesia maju sebagai Ketua Dewan HAM PBB. Ia menilai Indonesia telah meratifikasi lebih banyak instrumen HAM ketimbang Australia yang bahkan belum memiliki UU HAM nasional, dan karena itu mendorong penguatan Human Rights Dialogue RI–Australia sebagai kanal belajar bersama. Sejalan dengan itu, Musrenbang HAM Nasional menjadi laboratorium kebijakan untuk memastikan pengarusutamaan, pemenuhan, serta pelindungan–penegakan HAM terintegrasi dalam siklus perencanaan di pusat dan daerah. Dukungan Australia melalui Special Envoy forInternational Human Rights memberikan dorongan positif, termasuk kesediaan mendukung bila Indonesia mengajukan diri menjadi Ketua Dewan HAM PBB dan bukti kepercayaan mitra luar negeri terhadap arah kebijakan HAM Indonesia yang semakin modern, terbuka, dan berjejaring. Diplomasi HAM menjadi kekuatan tambahan untuk memperkuat standar, kerja sama lintas batas, dan pertukaran praktik baik.
Pemerintah juga memperkuat fondasi regulasi. Kementerian HAM menyiapkan langkah menuju ratifikasi OPCAT sebagai wujud komitmen pencegahan penyiksaan, sekaligus memproses revisi UU No. 39/1999 tentang HAM agar relevan dengan tantangan mutakhir. Pembaruan peraturan ini penting untuk menutup celah, mempertegas kewajiban lembaga negara sebagai duty bearer, dan menguatkan akses pemulihan bagi warga. Dengan tata aturan yang lebih mutakhir, pelaksanaan penghormatan, pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dapat berjalan lebih terukur. Pemerintah menegaskan norma harus berwujud layanan yang mudah diakses, akuntabel, dan ramah warga.
Ekosistem masyarakat pun dirawat melalui pendekatan edukatif. Di lingkungan kampus, misalnya, organisasi mahasiswa Universitas Pamulang memilih memperingati Hari HAM melalui seminar, diskusi panel, dan lokakarya. Ketua Koordinator Ormawa Universitas Pamulang, Ahmad Muajir, menegaskan peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini di lingkungan kampus akan dikemas edukatif tanpa aksi turun ke jalan demi menjaga stabilitas akademik, keamanan. Ia menyampaikan keputusan tersebut merupakan hasil konsolidasi internal seluruh unsur organisasi mahasiswa, dengan rangkaian kegiatan 9–11 Desember 2025 berupa seminar tematik, diskusi panel, lokakarya, dan program refleksi yang melibatkan tokoh HAM, akademisi, serta organisasi sosial. Muajir menilai pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam sekaligus membentuk kesadaran kritis mahasiswa, dan komitmen terhadap isu HAM, menurutnya, tetap kuat, namun metode edukasi dan dialog dinilai paling relevan dengan situasi kampus saat ini.
Kementerian HAM juga mengakselerasi literasi publik agar nilai-nilai HAM membumi sebagai kebiasaan sosial. Program edukasi, penayangan dan bedah film, serta penguatan kapasitas aparatur dilakukan untuk memastikan prinsip HAM dipahami dan dipraktikkan di garda terdepan layanan, puskesmas, sekolah, kantor desa, hingga unit perizinan. Pemerintah percaya, keberhasilan HAM tidak hanya diukur dari putusan hukum, tetapi dari pengalaman warga saat mengakses haknya: mudah, cepat, setara, dan manusiawi.
Pekerjaan besar tak selesai dalam semalam. Kapasitas daerah yang beragam, tantangan koordinasi, hingga kebutuhan mekanisme pengaduan yang kian ramah korban tetap menjadi PR bersama. Namun, pemerintah telah menyiapkan rute yang meyakinkan: perencanaan berbasis indikator melalui Musrenbang HAM, pembaruan regulasi yang progresif, diplomasi kawasan yang konstruktif, dan penguatan literasi yang berkesinambungan. Jalur ini membuat agenda HAM tidak bergantung momen, melainkan terikat pada siklus perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang bisa diukur capaian tahunannya.
Peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini memantulkan narasi yang optimistis dimana negara hadir, menata, dan memperbaiki. Pemerintah memilih bekerja lewat institusi, data, dan peta jalan, menggandeng mitra internasiona, sekaligus merawat ruang dialog di kampus dan komunitas. Indonesia menegaskan bahwa HAM bukan sekadar deklarasi, melainkan praktik yang terus disempurnakan. Positif, kolaboratif, dan berorientasi hasil, agar martabat manusia benar-benar menjadi pusat pembangunan Indonesia.
*) pemerhati isu internasional
