MATA INDONESIA, RIYADH – Jauh sebelum jazirah Arab dikuasai suku-suku yang ada sekarang, terdapat sekelompok bangsa Arab kuno yang menetap di Yordania hingga ke utara Damaskus. Nama sukunya adalah Bangsa Nabataean.
Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah ada sejak dahulu kala kepada jazirah Arab.
Wilayah ini berbatasan dengan Laut Merah dan gurun Sinai di sebelah barat. Di sebelah timur ada teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq. Di sebelah selatan terdapat laut Arab yang bersambung dengan lautan India. Dan di sebelah utara terdapat negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.
Nah, suku bangsa Nabataean ini adalah sekelompok orang Arab Kuno yang menetap di bagian utara Arab dan bagian selatan Asia Barat sejak abad ke-4 Sebelum Masehi (SM) hingga 106 Masehi. Mereka menempatkan ibu kota utama di Kota Petra, Yordania. Namun mereka juga menjadikan Mada’in Saleh di Arab sebagai ibu kota kedua.
Awalnya suku ini sebenarnya adalah salah satu dari beberapa suku Badui nomaden yang berkeliaran di Gurun Arab. Kehidupah mereka mencari padang rumput dan air untuk ternak. Mereka muncul sebagai peradaban dan entitas politik yang berbeda antara abad ke-4 dan ke-2 SM. Mereka membangun kerajaan dengan menjadikan ibu kotanya sebagai lalu lintas perdagangan. Tak heran, suku bangsa ini dengan cepat bisa menjadi kaya rata dan punya pengaruh besar.
Orang-orang Nabataean terkenal sebagai orang Independen dan ulet. Sayangnya Kekaisaran Romawi menjajah suku bangsa ini pada abad 1 Masehi. Penguasa Romawi memaksa mereka untuk menganut agama Kristen. Lambat laun karena percampuran dengan suku lain, karakter Suku Nabataean pun hilang.
Peninggalan di Arab
Peninggalan suku Nabataean ini sekarang mewarnai peradaban di jazirah Arab. Misalnya sejumlah arsitektur canggih nan rumit. Dan ini mampu menarik perhatian arkeolog.
Ada sekitar 60 arkeolog yang telah memulai survei mereka di area inti seluas 3.300 kilometer persegi di barat laut Arab Saudi. Mada’in Saleh menjadi lokasi penelitian. Ternyata ada perbedaan antara kota Mada’in Saleh di Arab dengan Kota Petra di Yordania.
Hal ini yang menarik perhatian Abdulrahman Alsuhaibani, dosen Universitas Raja Saud di Riyadh. Ia tertarik dengan arsitektur Nabataean terutama peninggalan dari masa awal peradaban Dedan dan Lihyan. Kerajaan Arab Saudi pun sampai harus membentuk komisi kerajaan untuk membantu penelitian Abdulrahman.
Dengan dana yang tak terbatas, Komisi Kerajaan memiliki andil untuk menyediakan teknologi terkini ketika melakukan survei. Adapun teknologinya antara lain pesawat ringan dengan kamera khusus.
Kamera ini dapat menangkap foto secara lebih terperinci di kawasan Al Ula dan lembah-lembah di sekitarnya. Teknologi ini dapat memudahkan proses penemuan peninggalan kuno.
Rebecca Foote, arkeolog asal Amerika Serikat yang menjadi penanggung jawab survei Komisi Kerajaan menjelaskan survei-survei sebelumnya hanya berpusat pada penggalian semata. Hal ini karena untuk survei di wilayah seluas itu membutuhkan sumber daya yang tak sedikit.
Ia menambahkan sejauh ini di dunia banyak temuan kuno yang berasal pada tahun 1.000 – 3.000 Masehi yang rata-rata berada di wilayah Mesopotamia Kuno dan Mesir. Rebecca mengatakan temuan kuno yang berasal dari Semenanjung Arab sangatlah sedikit.
Sebagai informasi, Foote telah meneliti Petra, kota kuno di Yordania, selama bertahun-tahun. Di lokasi itulah ia menganggap bahwa kota tersebut menjadi kota dengan temuan terbaik dari peradaban Nabataean.
Namun ia kaget saat mendapatkan bahwa di Arab Saudi peninggalan suku Nabataean ternyata lebih banyak dan beragam. Hal ini yang membuat ia menyarankan Komisi Kerajaan untuk menyewa satelit memotret kawasan-kawasan terpencil di wilayah jazirah Arab.
Apalagi di kawasan ini terdapat jaringan perdagangan dupa dan kemenyan. Tentunya jalur ini membutuhkan air untuk menghidupi perjalanan para pedagang saat melakukan perjalanan.
Jamie Quartermaine, pemimpin survei dari Arkeologi Oxford, mengatakan bahwa timnya telah menjelajahi 11.500 lokasi. Adapun surveinya menggunakan metode fotografi seperti drone dan fotografi angkasa.
Foto-foto tersebut selalu sesuai setiap dua hingga tiga detik untuk mengukur jarak yang sebenarnya. Betapa kagetnya saat mengetahui hasil dari foto tersebut, ternyata banyak situs-situs yang tersembunyi di area padang pasir yang luas.
Biasanya setelah hasil foto muncul, Maria Guagnin, seorang ahli bebatuan akan melakukan riset dan penelitian ke lokasi. Dan begitu terkesimanya ia saat pertama kali melihat aspek lansekap arkeologi. Ia mengatakan, pemahaman para arkeolog mengenai spesies hewan prasejarah bisa jadi akan berubah.
Menurutnya, banyak spesies hewan prasejarah di Semenanjung Arab yang sudah punah, namun ternyata menunjukkan fakta sebaliknya. Ia akan siap membeberkan informasi mengenai tipe habitat, populasi, tanaman, yang ada di sekitar lansekap prasejarah, hingga membantu para ahli membuat penanggalan.
Kehadiran spesies mamalia di Al Ula yang sebelumnya tidak didokumentasikan, memberikan informasi baru mengenai sebaran populasi, tipe habitat, dan tanaman yang tersedia di lansekap prasejarah.
Gambaran hewan juga membantu para ahli untuk membuat penanggalan. Misalnya, kemungkinan tidak ada kuda atau unta yang pada 1.200 sebelum Masehi.
Hewan ternak, kambing, dan domba mulai berkembangiak di Semenanjung Arab antara 6.800 sampai 6.200 SM. Mereka berasal dari Asia Barat dan dibawa ke Arab Saudi. Ini menjadi cara untuk memberi penanggalan pada seni bebatuan karena sebelum era itu kemungkinan hewan ternak tidak ada di kawasan itu.
Reporter: Intan Nadhira Safitri