Menolak Keras 1 Juli HUT OPM, Masyarakat Ingin Jaga Persatuan NKRI

Baca Juga

Oleh: Theresia Mote*

Setiap bangsa memiliki momen penting yang menjadi tonggak sejarah perjuangan, tetapi tidak semua tanggal layak dirayakan sebagai hari peringatan. Klaim 1 Juli sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan hanya tidak mencerminkan semangat kemajuan dan kemanusiaan, penetapan tanggal ini justru menjadi simbol glorifikasi kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Papua sendiri. Inilah yang ditegaskan oleh sejumlah tokoh adat dan pemimpin daerah di Tanah Papua bahwa Papua memilih damai, bukan konflik, memilih persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan pemecahbelahan.

Yanto Eluay, tokoh adat sentral Papua, menyuarakan dengan lantang penolakan terhadap peringatan 1 Juli sebagai hari berdirinya OPM. Bagi masyarakat adat Papua, tanggal tersebut tidak punya akar budaya maupun legitimasi moral dalam tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian, persaudaraan, dan kesejahteraan. Penolakan ini bukan sekadar retorika, melainkan seruan nurani yang tumbuh dari keinginan mendalam untuk membangun Tanah Papua secara bermartabat, jauh dari senjata dan konflik yang hanya menyisakan luka sosial antargenerasi.

Dalam pandangan Yanto Eluay, masyarakat Papua memiliki tujuan hidup yang jelas—ingin hidup tenteram, mendidik anak cucu dalam damai, membangun ekonomi lokal, memperkuat akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta menjaga lingkungan dan budaya lokal. Semua itu tak mungkin tercapai jika kekerasan terus menjadi wajah yang diperlihatkan kepada dunia. Justru, separatisme bersenjata yang selama ini diusung oleh kelompok OPM menjadi penghambat utama kemajuan Papua. Maka, menurutnya, menolak peringatan 1 Juli bukan hanya tindakan politik, tetapi juga wujud tanggung jawab moral terhadap masa depan Papua.

Senada dengan itu, suara dari Papua Barat juga menguatkan narasi damai tersebut. Korneles Yenu, Ketua Gerakan Merah Putih Irian Jaya, mengajak masyarakat Manokwari agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu separatis yang sengaja dimainkan menjelang 1 Juli. Ia menekankan pentingnya ketenangan sosial dan stabilitas sebagai fondasi untuk kemajuan bersama. Dalam konteks ini, menjaga keamanan bukan hanya tugas aparat, melainkan kewajiban moral seluruh elemen masyarakat yang cinta tanah kelahirannya dan tidak ingin menyeret generasi muda ke dalam konflik yang tak berujung.

Tokoh adat Manokwari, Lewi Mandacan, bahkan memperingatkan secara tegas bahwa NKRI telah memberi ruang dan perhatian besar terhadap Papua melalui berbagai program pembangunan dan pemberdayaan. Dalam pernyataannya, ia mendorong agar masyarakat tidak larut dalam retorika konflik yang hanya merusak sendi-sendi kebersamaan. Ia mengajak masyarakat Papua untuk menjadi bagian dari solusi dan turut serta menjaga keutuhan bangsa yang majemuk ini.

Dari sisi pemerintahan, Gubernur Papua Pegunungan, John Tabo, mengingatkan bahwa kedamaian adalah syarat utama percepatan pembangunan, terutama di wilayah Daerah Otonomi Baru (DOB) seperti Papua Pegunungan. Ia mengajak warga di delapan kabupaten di bawah kepemimpinannya untuk menjaga stabilitas sosial dan tidak menciptakan kegaduhan yang bisa menghambat pembangunan ekonomi, pendidikan, maupun layanan kesehatan. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin daerah, ia mengemban tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang, dan menyerukan agar seluruh lapisan bersatu membangun Papua yang damai, adil, dan sejahtera.

Narasi damai yang dibangun oleh para tokoh adat dan pemimpin daerah ini harus menjadi perhatian serius bagi seluruh bangsa Indonesia. Upaya separatisme yang ingin memecah belah Indonesia tidak hanya mengancam integritas wilayah, tetapi juga menciderai harapan warga Papua yang mendambakan hidup yang lebih baik. Glorifikasi terhadap kekerasan dan perjuangan bersenjata bukanlah jalan keluar dari masalah—justru memperpanjang derita dan menutup ruang-ruang dialog serta pembangunan.

Papua bukan tanah konflik. Papua adalah rumah besar yang dihuni oleh masyarakat adat yang menjunjung tinggi harmoni dan cinta tanah air. Segala bentuk peringatan yang bertujuan memecah belah bangsa, seperti 1 Juli yang diklaim sebagai hari berdirinya OPM, sejatinya adalah ancaman terhadap cita-cita luhur masyarakat Papua sendiri. Di tengah arus informasi yang semakin cepat, masyarakat dituntut untuk bijak menyaring informasi dan tidak mudah percaya pada provokasi yang merugikan kepentingan bersama.

Generasi muda Papua perlu diarahkan untuk menjadi agen perubahan yang positif, bukan korban narasi kekerasan. Mereka harus diberi akses pendidikan yang berkualitas, kesempatan ekonomi yang luas, serta ruang partisipasi politik yang sehat dalam sistem demokrasi Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus terus memperkuat pendekatan yang inklusif, merangkul semua pihak untuk mempercepat pembangunan Papua tanpa diskriminasi.

Menolak peringatan 1 Juli sebagai HUT OPM adalah langkah penting dalam memutus mata rantai glorifikasi kekerasan. Ini bukan sekadar penolakan terhadap simbol, melainkan pernyataan tegas bahwa masa depan Papua terletak pada semangat kebersamaan dalam NKRI. Tanah Papua telah, sedang, dan akan terus menjadi bagian integral dari Indonesia, dengan segala keberagaman dan kekayaannya. Kini saatnya seluruh komponen bangsa bersatu menjaga perdamaian, demi Papua yang damai, maju, dan sejahtera.

*Penulis merupakan Jurnalis dan aktivis literasi dari Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Hoaks OPM, TNI : Rumah Bupati Puncak yang Dibakar Bukan PosMiliter

Oleh: Loa Murib Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan pola lama merekadalam menutupi aksi brutal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dalam upayamembenarkan tindak kekerasan, OPM menyebarkan disinformasi bahwa rumah milik BupatiPuncak dan kantor Distrik Omukia yang mereka bakar di Papua Tengah merupakan pos militeryang digunakan oleh TNI. Tuduhan tersebut segera dibantah secara resmi oleh pihak militer danterbukti tidak memiliki dasar fakta. TNI melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri CandraKurniawan, memberikan klarifikasi bahwa bangunan yang dibakar oleh OPM tidak difungsikansebagai markas militer. Tindakan pembakaran itu murni merupakan aksi kriminal yang disengajauntuk menciptakan ketakutan, mengganggu ketertiban umum, dan mencoreng wibawa negara di mata masyarakat Papua. Bantahan ini menjadi penegasan bahwa OPM kembali menggunakanstrategi disinformasi untuk mengaburkan realitas dan membangun opini publik yang menyesatkan. Disinformasi semacam ini memperjelas bahwa OPM tidak hanya mengandalkan kekerasanbersenjata, tetapi juga propaganda informasi sebagai instrumen perlawanan mereka. Merekamenciptakan narasi seolah-olah aparat keamanan adalah pihak yang menyebabkan keresahan, padahal masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari aksi teror yang dilakukan olehkelompok tersebut. Manipulasi informasi yang dilakukan OPM jelas bertujuan untuk merusakkepercayaan publik terhadap negara dan aparat keamanan. Kejadian yang menimpa Kabupaten Yahukimo menjadi contoh konkret betapa kejamnya aksiOPM. Dalam serangan yang dilakukan belum lama ini, seorang pegawai honorer PemerintahKabupaten Yahukimo tewas akibat kekerasan yang mereka lakukan. Insiden ini menunjukkanbahwa OPM telah melampaui batas kemanusiaan dan menjadikan nyawa warga sipil sebagai alattawar dalam narasi perjuangan mereka yang keliru. Merespons insiden tersebut, aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz bergerak cepatbegitu mendapat laporan dari jajaran Polres Yahukimo. Tim langsung turun ke lokasi kejadian, melakukan evakuasi korban ke RSUD Dekai, mengamankan tempat kejadian perkara, sertamengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Kecepatan ini menunjukkan bahwanegara tidak tinggal diam dalam menjamin perlindungan bagi rakyat, dan siap menghadapisegala bentuk teror yang mengancam stabilitas wilayah. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menegaskan bahwaseluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis akan ditindak secara tegas sesuaihukum. Penegakan hukum ini bukan hanya penting untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga menjadi pernyataan tegas bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dibiarkanmerusak keutuhan dan kedamaian di Papua. Kekejaman OPM, yang ditunjukkan melalui aksi pembakaran, pembunuhan, serta provokasiberulang, memperlihatkan bahwa kelompok ini bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, mereka adalah ancaman nyata yang menghalangi pembangunan dan menimbulkanketakutan di tengah masyarakat. Klaim mereka sebagai pembebas Papua tidak sejalan dengankenyataan bahwa mereka justru memperparah penderitaan rakyat melalui aksi-aksi brutal yang dilakukan. Kasatgas Humas Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, mengimbau masyarakat untuk tidakterprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Ia menegaskan bahwa perlindunganterhadap masyarakat sipil menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, partisipasi aktif dariwarga untuk melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungannya menjadi elemen pentingdalam menjaga keamanan. Negara juga terus menunjukkan komitmennya untuk hadir tidak hanya melalui pendekatankeamanan, tetapi juga melalui pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Berbagai program pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi telahdigulirkan sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Kehadiran negara di Papua bukanlah dalam bentuk represi, tetapi dalam wujud pelayanan danpemberdayaan. Narasi OPM yang menyebut Papua berada dalam penjajahan adalah bentuk manipulasi sejarah. Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal itu telahditegaskan melalui proses hukum dan politik yang diakui secara nasional maupun internasional. Setiap upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melalui kekerasan bersenjata danpropaganda menyesatkan, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang harus ditindak tegas. Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya perdamaian kini semakin menguat. Kolaborasiantara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil dalam menjaga ketertiban dan menolakaksi kekerasan menjadi sinyal kuat bahwa Papua ingin maju bersama dalam bingkai NKRI. Kekuatan kolektif masyarakat ini menjadi benteng terdepan dalam menangkal pengaruh burukdari kelompok separatis. Mengecam tindakan keji OPM dan membongkar propaganda mereka bukan semata-matatanggung jawab aparat keamanan. Ini adalah kewajiban moral seluruh rakyat Indonesia dalammenjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan masa depan Papua yang aman dan sejahtera. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat disinformasi dan kekerasan yang dibungkusdengan dalih perjuangan. Penegakan hukum, pendekatan informasi yang jernih, serta pembangunan yang inklusif harusterus diperkuat untuk mengikis pengaruh kelompok separatis. Dengan semangat kebersamaandan kehadiran negara yang nyata,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini