Mata Indonesia – Pesta demokrasi rakyat Indonesia atau Pemilu 2024 tinggal empat bulan lagi. Tepat 14 Februari 2024 seluruh WNI di seluruh dunia bakal menggunakan hak suaranya untuk menentukan pemimpin baik Presiden dan Wakil Presiden bahkan Pemimpin Daerah mereka masing-masing.
Gerakan Pemilu Damai 2024 pun dilakukan oleh sejumlah Pemda, termasuk di DIY yang beberapa waktu lalu dilakukan Gubernur DIY. Daerah yang dikenal istimewa ini menggelar Sapa Aruh, di mana Raja Keraton Jogja, mengumpulkan seluruh lurah dan camat se-DIY untuk berikrar menciptakan Pemilu 2024 yang tenang.
Namun sebelum menciptakan pemilu damai yang diharapkan sebagain orang-orang, masyarakat harus melihat lebih dalam lagi, bagaimana para pendukung kandidat bekerja di balik layar agar calon pemimpinnya menang.
Sudah pasti tim pemenangan capres-cawapres termasuk parpol di daerah-daerah berupaya untuk memenangkan calon yang mereka usung. Sejumlah hal bisa dilakukan, mulai dari ajakan memilih, money politic, bahkan yang selalu dikenal sejak 2019 lalu, penyebaran hoaks untuk melemahkan salah satu calon pemimpin.
Tak hanya di Pilpres, saat Pilkada pun, gelombang hoaks ini sudah menjadi satu kesatuan dalam pesta demokrasi di Indonesia. Hasilnya, tak jarang masyarakat yang tertipu, tergerak bahkan menyerang calon pemimpin lainnya.
Hoaks atau berita bohong ini berkembang pesat segaris teknologi dan internet yang juga semakin canggih. Berita bohong ini memang sudah lama dilakukan.
Menukil sedikit Pemilu Amerika Serikat 2016 yang dimenangkan oleh Donald Trump. Tak jarang berita bohong itu disebar untuk menjadi kebenaran. Saat Trump memimpin pada 2017, melansir The Washington Post, Selasa 7 November 2023, mantan Presiden Amerika Serikat ini membuat 4.299 klaim keliru yang membohongi publik sejak menduduki jabatannya pada 20 Januari 2017.
Kembali ke Indonesia, hoaks memang sudah menjadi bumbu dapur setiap penyelenggaraan politik. Paling bisa dirasakan adalah Pilpres 2019 di mana perang hoaks hampir tiap hari kita temui di sejumlah platform media sosial.
Sampai-sampai masyarakat dipecah oleh dua kubu yang disebut ‘cebong dan kampret’. Dua kandidat Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat dukungan penuh dari dua kubu masyarakat dengan bumbu-bumbu hoaks yang mereka terima.
Lalu, siapa yang betanggungjawab dengan berita bohong tersebut?. Apakah tetap akan terjadi pada Pemilu 2024 mendatang?. Jawabannya sudah tentu diketahui, sampai saat ini pun, berita hoaks kerap kita temui.
Muncul istilah buzzer di media sosial, di mana akun-akun anonym bahkan akun asli yang digunakan sekelompok orang tersebut bertugas menyebar informasi baik terverifikasi ataupun tidak untuk menjatuhkan kandidat capres dan cawapres. Atau bisa jadi menunjukkan sisi kebaikan-kebaikan kandidat tanpa diimbangi dengan fakta dan terkesan dibuat-buat untuk menaikkan elektabilitasnya.
Tak jarang kebohongan-kebohongan itu tetap disebar untuk mengubah mindset masyarakat bahwa informasi itu benar. Mantan Kanselir Jerman, Joseph Goebbels bahkan pernah berujar ‘ulangilah kebohongan sesering mungkin, maka dia akan menjadi kebenaran’.
Hal ini merupakan efek ilusi kebenaran yang kerap ditemui dalam dunia psikologi. Pada akhirnya dalam berpolitik pun, ilmu yang berubah sebagai hukum propaganda ini seakan menjadi senjata bagi pendukung-pendukung kandidat dalam memenangkan calon yang mereka usung.
Penggiringan opini ini adalah goals yang ingin dicapai buzzer-buzzer tersebut. Setidaknya meyakinkan salah satu kepala warga bahwa ia percaya dengan informasi yang disebar di media sosial, menjadi bayarannya untuk makan beberapa waktu ke depan.
Pemilu 2024, seharusnya masyarakat bisa lebih terbuka dalam melihat informasi yang ada di media sosial. Tak mudah percaya atau sifat skeptis setidaknya muncul untuk memastikan bahwa informasi tersebut benar, atau justru berita bohong yang diakui kebenarannya sebagian orang itu harus dilawan.
Penguatan Literasi
Menciptakan pemilu damai harus berangkat dari masing-masing diri masyarakat yang memiliki hak suara. Tak dipungkiri, sampai detik ini pun warga Indonesia sudah menentukan siapa capres-cawapresnya.
Pilkada di daerah pun tak jauh beda, masyarakat juga sudah menentukan siapa yang mereka dukung saat pemungutan suara 14 Februari 2024 nanti. Namun hal itu perlu dibarengi dengan menghormati pendukung lain jika berbeda pilihan.
Di samping kesadaran diri untuk menjaga pemilu yang tetap santun. Literasi dalam mendapatkan informasi juga penting bagi masyarakat.
Tak jarang, pendukung fanatik dari masing-masing kandidat, mudah tersulut emosi ketika bertemu dengan pendukung lain. Sepele, karena kejelekan dari salah satu kandidat yang belum tentu benar, sudah mengakar di alam bawah sadarnya.
Dengan demikian, membuka lagi informasi yang mereka terima, termasuk rekam jejak kandidat yang akan maju di panggung politik 2024 harus berimbang dilakukan. Memang menebar janji dari masing-masing calon kandidat sangat manis di telinga pendukungnya.
Kendati begitu, janji itu adalah cara mulus untuk mendapatkan suara masyarakat untuk memilih mereka.
Tak ada salahnya menghabiskan 15-25 menit waktu untuk membuka informasi dari laman terverifikasi terhadap isu yang beredar dari salah satu capres-cawapres.
Bahkan sejumlah lembaga non-nirlaba pun membuat platform khusus untuk memerangi berita hoaks yang beredar. Perusahaan sekelas Google di Indonesia pun, juga sudah mengeluarkan beberapa kampanye untuk menangkal hoaks. Hal itu terlihat dalam beberapa jeda iklan ketika membuka YouTube.
Artinya sudah banyak yang sadar bahwa pemilu damai harus diciptakan di tahun depan. Bukan tanpa alasan, berkaca pada 2019 lalu, nyaris semua orang tertipu dengan berita bohong yang justru dianggap benar.
Jangan sampai jatuh ke lubang yang sama, penguatan literasi hingga skeptis untuk memerangi berita yang salah, barangkali satu langkah positif untuk perkembangan politik di Indonesia. Sehingga harapan dan tujuan pemilu damai di 2024 bisa tercapai.