Mata Indonesia, Jakarta – Di sebuah pagi menjelang siang. Seorang raja datang menemui Diogenes. Filosof yang berumah di “gentong” ini, biasa saja ketika melihat raja sejagat yang di jamannya paling kuasa datang. Sambutan yang biasa-biasa saja, spontan membuat Raja jadi risih.
Dialog pun berlangsung. Mulai dari perbincangan tentang keseharian, sampai ke hal –hal yang filosofis. Sepanjang dialog, raja merasakan banyak hal yang tidak lazim dialaminya.
Pertama, gestur tubuh Diogenes saat menyambut dan berbicara dengan Baginda Raja, tetap seperti gestur hariannya. Pada biasanya, Raja yang dipertuan agung, selama ini selalu berhadapan dengan Bahasa tubuh yang penuh penghambaaan. Raja jadi masygul dibuatnya.
Kedua, sepanjang dialog dengan sang raja, Diogenes selalu berbicara dengan ritme bahasa yang sangat alamiah. Intonasinya tidak merendah, kata-katanya tidak di kromo inggil – kromo inggilkan, sama sekali tidak memperlihatkan kepura-puraan dalam bentuk apapun. Ketika sikap ini ditegur oleh ajudan Baginda Raja Alexander, Diogenes malah bicara kalau dirinya tak mau lelah batin. Spontan ia berfatwa bahwa pura-pura, dibuat-buat, itu memakan energi yang sangat melelahkan, Karena Dioenes percaya bahwa hidup itu sebuah kegairahan alamiah. Bukan kepura-puraan amaliah. Tapi raja tetap masygul, lantaran ia tak biasa mengalaminya.
Ketiga. Syahdan, semenjak awal pertemuan Diogenes tidak menyanjung, membenar-benarkan, atau menyetuju-tujui apa yang dikatan sang raja. Meski tidak serta merta menyepelekan pandangan sang raja, tapi ia juga sangat menghargai intelektualitas dirinya. Maka atas dasar itu, dalam dialog, keduanya bisa dengan sangat jelas menjadi dirinya masing masing.
Singkat cerita, di balik kekagumannya “membaca” kelugasan berpikir sang filosof, manusiawi jika sebagai raja, Alexander merasa tidak nyaman. Bukankah Raja di mana pun butuh disanjung, dihargai dan berharap pengakuan. Maka menjelang akhir pertemuan, sang raja bercerita tuntas tentang kehebatan dan kebesarannya. Puas bercerita, Baginda Raja lantas mengajukan pertanyaan. Wahai Diogenes, andaikata setelah kematianmu kelak, engkau mendapat kesempatan untuk hidup kembali, kira-kira engkau akan memilih hidup sebagai siapa?
Menurut hikayat, dari pertanyaan ini sang raja, berharap agar Diogenes mengatakan kalau ia ingin sekali merasakan hidup sebagai seorang Raja yang agung gemerlap.
Sayangnya hayalan itu bertepuk sebelah tangan. Karena Diogenes, dengan lugas menjawab, “Saya akan memilih untuk menjadi diri saya.”
Kenapa? Sang Raja memotong kalimat. Karena percayalah, kata Diogenes, menjadi orang lain itu selalu tidak memberi makna apa-apa. Lebih terhormat jika menjadi diri sendiri. Maka sebangga-bangganya berada di tengah orang lain, atau bangsa lain, tetaplah jadi diri sendiri.
Hargailah diri sendiri, bangsa sendiri. Itu lebih berarti.
(Raju Ilham. Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Paramadina, Jakarta)