MATA INDONESIA, JAKARTA – Seribu tahun silam, tepatnya pada 26 Agustus 1071, Alp Arslan, sultan dari Dinasti Seljuk, mengalahkan pasukan besar Bizantium yang dipimpin oleh Romanus Diogenes IV, kaisar dari kerajaan Kristen yang dipimpin Yunani, Romawi Timur.
Bertepatan dengan 463 H, peperangan tersebut terjadi di dekat Kota Manzikert (sekarang Malazgirt, Turki Timur).
Pertempuran itu memainkan peran penting dalam melemahkan Kekaisaran Romawi Timur dan jatuhnya Anatolia ke tangan Kesultanan Seljuk. Dalam peperangan tersebut, pasukan Seljuk berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan Romawi Timur.
Kemenangan Seljuk atas Pertempuran Manzikert pun dianggap sebagai pembukaan Anatolia untuk suku dan klan Turki. Sultan Alp Arslan mengizinkan semua komandan dan kepala suku yang bersamanya dalam perang untuk kemudian tinggal dan mendiami wilayah Anatolia bersama dengan anggota-anggota sukunya. Maka, dimulai lah era dimana bangsa Turki mendiami wilayah Anatolia.
Ini juga merupakan awal dari berdirinya negara bagian Seljuk Anatolia atau Seljuk Rum. Lalu di masa berikutnya, disusul dengan berdirinya Turki Usmani.
Kemenangan Manzikert juga merupakan awal dari Perang Salib di dunia Muslim. Setelah negara Seljuk tumbuh lebih kuat dan Kekaisaran Bizantium dikalahkan, Eropa Barat menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi mengandalkan Bizantium dan Roma untuk menjaga pintu timur Eropa dari serangan Muslim. Mereka mulai berpikir tentang penaklukan dunia Islam. Hal ini kemudian mendasari terjadinya Perang Salib Pertama (1096-1099) atas undangan Paus Urbanus II dan Peters Amin pada 1095. Mereka aktif dalam mengkampanyekan Perang Salib di kalangan keuskupan agung.
Edward Gibbon dalam History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan, seruan perang suci itu telah menyentuh syaraf perasaan yang sangat halus dari masyarakat Eropa. Dipimpin para pendeta dan bangsawan, pasukan Salib berangkat melewati Konstantinopel menuju ke Yerussalem.
Pada 1095, kampanye tersebut berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 150.000 yang sebagian besar berasal dari Prancis dan Normandia. Mereka berangkat menuju Konstantinopel dan kemudian akan menaklukan Palestina.
Dalam buku Sejarah Islam Klasik (2013) karya Susmihara dan Rahmat, Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Behemond, dan Raymond mendapatkan kemenangan besar pada Perang Salib I.
Mereka berhasil menaklukan Nicea dan menguasai Edessa (Turki) pada tahun 1908. Mereka juga mendirikan pusat pemerintahan tentara Salib bernama County Edessa (Kerajaan Latin I) dan mengangkat Baldwin sebagai rajanya.
Tentara Salib tidak hanya berhenti sampai di Edessa. Mereka kembali melakukan penaklukan di kawasan Timur Tengah dan mendirikan tiga kerajaan Latin, yaitu Kerajaan Latin II di Anotiokia (1098 M) yang dipimpin oleh raja Behemond. Kerajaan Latin III di Baitul Maqdis (1099 M) yang dipimpin oleh raja Godfrey. Kerajaan Latin IV di Tripoli (1099 M) yang dipimpin oleh raja Raymond.
Perang pun berlanjut hingga abad ke-17. Terdapat delapan perang salib utama, walau ada perang salib tambahan setelahnya yang jauh lebih kecil dan tidak banyak berpengaruh dalam sejarah.
Perang Salib meninggalkan prasangka dan kecurigaan Eropa terhadap dunia Islam. Sebaliknya, perang ini juga meninggalkan luka sejarah yang tidak mudah pupus bagi umat Islam dalam pandangannya terhadap Barat.
Karen Armstrong dalam Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk menambahkan, sebelum kedatangan tentara Salib, umat tiga agama hidup dengan harmonis selama 460 tahun di kota suci Yerusalem. Hingga akhirnya tentara Salib tiba di kota ini pada Juli 1099, kemudian melakukan pembantaian puluhan ribu umat Muslim dan Yahudi. Perang Salib pun mengubah lanskap hubungan ketiga agama besar (Islam, Yahudi, dan Kristen) secara signifikan.
Menurut Armstrong, konflik Amerika dengan negara-negara Timur Tengah sekarang ini adalah kelanjutan Perang Salib di abad pertengahan, sedangkan pendudukan Israel atas Muslim adalah kelanjutan perang suci antara Yahudi dan Islam. Motifnya tidak lagi sebatas agama, tetapi semakin kompleks dengan berbagai kepentingan politik, ideologis, dan penguasaan sumber daya alam.
Salah satunya adalah ketika George W Bush mendeklarasikan perang melawan terorisme pada awal 2000-an. George W Bush menggunakan istilah Perang Salib (Holy War) karena menurutnya, perang melawan terorisme dianggap sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
Hingga akhir tahun 2020, saat kasus konfrontasi Prancis atas kartun Nabi Muhammad yang memicu kemarahan di negara-negara mayoritas Muslim.
Presiden Turki, Erdogan pun juga masih menggunakan istilah Perang Salib. Ia mengatakan, bahwa negara-negara Barat yang mengejek Islam, ingin menyerukan Perang Salib kembali.
Reporter: Indah Utami