Ini Kenapa Waktu di Jakarta dan Jayapura Papua Berbeda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia terbagi menjadi tiga waktu wilayah. Masing-masing wilayah tersebut memiliki zonanya sendiri. Terdiri dari WIB (GMT+7), WITA (GMT+8), dan WIT (GMT+9).

Jauh sebelum adanya pembagian zona, orang-orang di berbagai wilayah menentukan waktu mereka sendiri. Mereka menentukannya dengan melihat gerakan matahari. Jika tepat di atas daerah mereka maka saat itu tepat pukul 12.00 siang.

Faktor utama terbentuknya pembagian zona waktu adalah kemajuan teknologi. Pada abad ke 19, transportasi sudah berkembang dengan baik. Perjalanan antar wilayah atau negara sudah menjadi kegiatan yang wajar. Satu hal yang merepotkan orang-orang saat itu adalah waktu yang tidak akurat karena setiap orangnya memiliki waktu sendiri.

Pada tahun 1878 di Kanada, Sir Sanford Fleming mengusulkan sistem zona sebagai patokan pembagian waktu di seluruh dunia. Namun, baru di 1884 sejumlah kalangan membuat konferensi yang membahas mengenai pembagian waktu dunia. Saat itu, di Washington DC, sebanyak 27 negara datang ke Konferensi Dunia Internasional.

Dari konferensi tersebut, terbentuk kesepakatan kalau dunia akan terbagi menjadi 24 zona waktu. Selain itu, menentukan lokasi titik pangkal 0 derajat bujur melalui Garis Meridian.

Garis Meridian adalah garis bujur yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Saat itu, para ilmuwan dan ahli perbintangan percaya dan yakin kalau Greenwich, salah satu kota di Inggris, terletak di Garis Meridien Utama. Dari Kota Greenwich inilah dunia terbagi menjadi 24 zona waktu dan satu zona itu sebesar 15 derajat.

Jadi, jika garis bujur pindah 15 derajat ke arah timur, maka waktu akan lebih cepat 1 jam dari waktu di Greenwich. Sedangkan, jika garis bujur pindah 15 derajat ke barat, maka waktu akan lebih lambat 1 jam dari waktu Greenwich. Standard waktu dunia ini kemudian terkenal dengan istilah Greenwich Mean Time (GMT).

Arti dari GMT+7 di zona WIB Indonesia berarti, waktu kita 7 jam lebih cepat dari waktu di Greenwich. Misalnya di Greenwich jam 10.00 berarti di Indonesia jam 17.00 atau 5 sore.

Cina dan Mekkah

Namun, dalam menentukan zona, satu wilayah yang memiliki lebih dari satu zona bisa menyamaratakan wilayah mereka menjadi satu zona saja.

Seperti Cina. Karena negaranya luas, makan mereka membaginya menjadi 5 zona. Namun mereka memutuskan untuk menyamaratakan setiap wilayahnya menjadi GMT+8.

Hal tersebut bertujuan untuk menyamakan jadwal kerja nasional. Sehingga informasi dan berita yang disiarkan di seluruh negeri dapat bersamaan waktunya tanpa membedakan zona.

Ada hal menarik lainnya yang terjadi pada tahun 2010. Saat meresmikan jam raksasa di Mekkah, ada sebagian ulama terutama yang di Arab yang ingin menjadikan Mekkah sebagai pusat waktu.

Nama sistem adalah Mecca Mean Time (MMT). Namun, hal tersebut tidak bisa terjadi karena secara geografis Mekkah bukanlah wilayah Garis Meridian.

Jika memang ingin menetapakan Mekkah sebagai Meridian Utama, maka garis tanggal internasional pada garis bujur 180 derajat akan memotong Alaska terlalu jauh. Itupun kalau harus belok ke Selat Bering. Sehingga akan berdampak kurang bagus karena Kanada dan Alaska yang berada di satu wilayah terpaksa harus berbeda hari.

Reporter: Desmonth Redemptus Flores So

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Menuju Kemandirian: Indonesia Kian Dekat Wujudkan Swasembada Pangan Nasional

Oleh: Sirajudin Ahmad *) Indonesia memasuki fase penting dalam perjalanan panjang menuju swasembadapangan nasional. Pendorong utamanya adalah kombinasi faktor yang selamabertahun-tahun menjadi tantangan terbesar sektor pertanian: peningkatanproduktivitas, stabilitas stok, efisiensi kebijakan, dan keberhasilan intervensipemerintah di titik-titik paling krusial dalam rantai produksi. Tahun 2025 menjadimomentum ketika kerja berlapis dari pemerintah pusat dan daerah mulaimenunjukkan arah yang semakin terukur. Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, stok beras pemerintah mampu bertahan pada kisaran 3,8 juta ton, danseluruhnya berasal dari produksi petani dalam negeri. Kondisi ini memperlihatkanbahwa agenda besar pemerintah dalam memperkuat kedaulatan pangan telahbergerak dari sekadar visi menuju capaian nyata yang dirasakan publik. Optimisme pemerintah terlihat jelas dari pernyataan Menteri Pertanian Andi AmranSulaiman yang menilai bahwa Indonesia sudah sangat dekat untuk mengumumkanstatus swasembada pangan. Amran tidak menyampaikan hal itu dalam ruangspekulatif, melainkan berdasarkan data teknis yang menunjukkan lonjakan produksipadi nasional sepanjang 2025. Perhitungan Kerangka Sampel Area BPS memperkirakan potensi gabah kering giling mencapai lebih dari 60 juta ton, meningkat lebih dari 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan tajam initerjadi terutama pada musim tanam awal tahun ketika sentra-sentra utama di Jawa, Sumatra, dan beberapa daerah lain melaporkan produktivitas jauh di atas rata-rata. Informasi teknis tersebut menjadi landasan kuat bagi pemerintah untukmenyimpulkan bahwa Indonesia tengah bergerak dari ketergantungan jangkapanjang pada impor beras menuju fase kemandirian produksi. Di sisi tata kelola stok, Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menilai cadangan pemerintah yang mendekati empat juta ton merupakan fondasi paling penting bagi deklarasi swasembada yang ditargetkan akhir 2025. Ia melihat bahwakapasitas ini memberi jaminan stabilitas pasokan bagi publik, sekaligus menegaskanbahwa kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan impor beras dapatdilaksanakan tanpa menimbulkan risiko kekurangan. Dengan cadangan sekuat itu, pemerintah memiliki ruang cukup untuk menjaga stabilitas harga melalui operasipasar, menahan gejolak akibat perubahan musim, dan memperkuat distribusi kewilayah yang selama ini paling rentan terhadap fluktuasi pasokan. Stok yang mampubertahan meski program bantuan pangan terus berjalan menandakan efektivitasintervensi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara produksi, konsumsi, danstabilitas pasar. Produksi beras nasional juga menunjukkan tren yang sejalan dengan target swasembada. Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, memproyeksikan produksi beras 2025 mencapai hampir 35 juta ton, meningkat lebihdari 13 persen dari tahun lalu. Data ini memperjelas bahwa kenaikan stok bukansekadar hasil penyerapan yang agresif, tetapi benar-benar mencerminkanpeningkatan di hulu. Faktor-faktor penentu seperti perbaikan irigasi, distribusi pupukyang lebih tepat sasaran, penambahan alat dan mesin pertanian, serta percepatanpembukaan lahan baru terbukti memberi dampak langsung terhadap produktivitaspetani. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa instrumen kebijakan pemerintahbekerja secara simultan: memperkuat sisi produksi, meminimalkan potensikebocoran, dan memastikan ongkos produksi lebih efisien bagi petani. Meskipun capaian ini memberikan harapan besar, sejumlah pengamat mengingatkanbahwa swasembada pangan tidak hanya ditentukan oleh tingginya angka produksi. Stabilitas harga, kelancaran distribusi, dan ketahanan pangan di wilayah 3T tetapmenjadi faktor penting yang menentukan apakah status swasembada benar-benardirasakan masyarakat. Selain itu, ketergantungan pada impor beberapa bahan bakupertanian serta potensi gangguan iklim ekstrem tetap menjadi tantangan strukturalyang perlu dikelola serius. Namun, pemerintah tampak memahami bahwapencapaian swasembada bukanlah garis akhir, melainkan titik awal untukmemperkuat kemampuan bertahan dalam jangka panjang. Karena itu, penguatanlogistik pangan, modernisasi irigasi, dan pembentukan cadangan pangan daerahmenjadi agenda lanjutan yang terus ditekankan dalam berbagai rapat koordinasi. Pemerintah juga menunjukkan pemahaman bahwa produksi yang tinggi tidak akanmemberikan dampak optimal tanpa tata niaga yang sehat. Upaya digitalisasipertanian, penerapan subsidi pupuk yang lebih transparan, serta penggunaanperangkat prediksi cuaca dan pola tanam menjadi strategi untuk memastikan bahwaproduktivitas petani dapat dipertahankan secara konsisten. Selain itu, kolaborasiantara pemerintah pusat dan daerah semakin kuat, terutama dalam memetakansentra-sentra produksi yang dapat menjadi tumpuan tambahan ketika terjadipenurunan produksi di wilayah tertentu. Daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Aceh, dan Sumatera Selatan menjadi contoh bagaimanapenguatan infrastruktur pertanian dapat mengubah struktur produksi nasional secarasignifikan. Jika tren seperti ini berlanjut, Indonesia bukan hanya akan mengurangiketergantungan pada impor, tetapi juga memiliki kemampuan menjadi pemain yang lebih kuat dalam menjaga stabilitas harga pangan nasional. Lebih jauh, keberhasilanini memberi kepercayaan diri bahwa transformasi sistem pangan menujukemandirian bukanlah sesuatu yang utopis. Pemerintah menunjukkan bahwa dengankebijakan yang terarah, intervensi tepat sasaran, dan pemanfaatan teknologi yang progresif, Indonesia mampu mengubah struktur ketergantungan historis menjadipondasi kedaulatan pangan yang lebih kokoh. *) Pengamat Pertanian/Pegiat Tani Desa Maju
- Advertisement -

Baca berita yang ini