MATA INDONESIA, LONDON – Ini kejadian menarik. Sejumlah youtuber dirayu oleh sebuah perusahaan pemasaran yang misterius dengan sejumlah uang untuk menyebarkan hoaks mengenai vaksin Covid-19.
Rencana itu gagal ketika para influencer itu mengadukan tawaran yang mereka terima kepada khalayak umum.
“Cerita ini diawali dengan sebuah email,” kata Mirko Drotschmann, seorang wartawan yang juga Youtuber asal Jerman, kepada BBC.
Drotschmann biasanya menolak tawaran dari merek-merek yang memintanya untuk mempromosikan produk mereka ke lebih dari 1,5 juta pengikutnya.
Namun, tawaran pada Mei 2021 tersebut lain daripada yang lain.
Sebuah perusahaan pemasaran bernama Fazze menawarkan Drotschmann untuk mempromosikan sesuatu yang mereka klaim sebagai informasi bocoran bahwa tingkat kematian orang-orang penerima vaksin Pfizer hampir tiga kali lipat dari orang-orang penerima vaksin AstraZeneca.
Informasi itu adalah hoaks belaka.
Bagi Drotschmann, semakin jelas bahwa dirinya diminta menyebarkan informasi menyesatkan guna mengikis kepercayaan publik terhadap vaksin di tengah pandemi.
”Saya terkejut, kemudian saya penasaran. Siapa di balik semua itu?” kata Drotschmann.
Di Prancis, Youtuber bidang sains, Leo Grasset, menerima tawaran serupa.
Perusahaan itu menawarkan 2.000 euro (sekitar Rp 34 juta) jika Grasset berpartisipasi.
Fazze mengeklaim pihaknya hanyalah perantara bagi seorang klien yang tidak ingin identitasnya diungkapkan. ”Benar-benar mencurigakan,” ujar Grasset.
Baik Grasset maupun Drotschmann tercengang oleh klaim perusahaan Fazze.
Namun, mereka pura-pura tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Mereka kemudian diberikan instruksi rinci tentang apa yang mereka harus katakan dalam video Youtube.
Dalam bahasa Inggris yang patah-patah, instruksi itu menyuruh mereka “berakting seolah Anda punya semangat dan minat pada topik ini”.
Instruksi itu juga mewanti-wanti mereka agar tidak menyebut bahwa video yang mereka buat disponsori—serta berpura-pura bahwa mereka memberikan imbauan secara spontan demi kebaikan penonton.
Platform-platform media sosial punya aturan yang melarang pembuat video merahasiakan konten bersponsor. Di Prancis dan Jerman, tindakan itu juga tergolong ilegal.
Perusahaan Fazze pun menyuruh para influencer membagikan artikel dari surat kabar Prancis, Le Monde, mengenai kebocoran data dari Badan Obat-obatan Eropa (EMA).
Artikel itu asli, tapi sama sekali tidak menyebutkan soal kematian akibat vaksin.
Namun, jika influencer menyebutkannya, ada kesan keliru bahwa statistik mengenai tingkat kematian berasal dari bocoran data tersebut.
Data yang harus disebut para influencer pada video mereka sejatinya digabung dari sumber-sumber berbeda serta ditarik keluar dari konteks.
Dengan demikian, influencer nantinya menyajikan jumlah orang yang meninggal dunia di sejumlah negara beberapa saat setelah menerima vaksin Covid. Padahal, hanya karena seseorang meninggal setelah menerima vaksin, bukan berarti dia meninggal karena vaksin tersebut.
Bisa saja orang itu tewas akibat kecelakaan mobil.
Dari statistik yang diambil dari negara-negara tertentu, mayoritas orang menerima vaksin Pfizer meninggal.
Para influencer ini juga diberikan daftar tautan untuk dibagi ke khalayak—sejumlah artikel meragukan yang mengutip data-data janggal yang seolah menunjukkan vaksin Pfizer berbahaya.
Tatkala Grasset dan Drotschmann mengungkap tindakan perusahaan Fazze di Twitter, semua artikel—kecuali artikel Le Monde—menghilang dari jaringan internet.
http://https://twitter.com/dirtybiology/status/1396719090321010688
Secara keseluruhan, rangkaian aksi Fazze untuk menyebarkan informasi menyesatkan ke publik telah gagal.
Kemudian, sejak Grasset dan Drotschmann mengungkapkan aksi tersebut, setidaknya empat influencer lain di Prancis dan Jerman yang ikut mengaku bahwa mereka menolak upaya Fazze untuk merekrut mereka.
Akan tetapi, wartawan Jerman, Daniel Laufer, menyebut ada dua influencer yang mengambil tawaran tersebut.
Menurut Laufer, dua individu itu mencakup Youtuber asal India, Ashkar Techy, yang biasa menayangkan konten soal mobil; serta Everson Zoio asal Brasil yang punya tiga juta pengikut di Instagram.
Keduanya mengunggah video-video yang memuat pesan seperti kampanye Fazze serta membagikan tautan berita palsu sebagaimana diinginkan perusahaan tersebut. Keduanya juga telah berpartisipasi dalam promosi Fazze sebelumnya.
Setelah Daniel Laufer menghubungi mereka, Everson Zoio dan Ashkar Techy menghapus video masing-masing namun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Daniel Laufer.
BBC berupaya menghubungi kedua influencer namun mereka tidak merespons.
BBC juga telah mengirim email kepada orang yang menghubungi Grasset dan Drotschmann. Email itu memantul, bukan dari Fazze, tapi dari domain sebuah perusahaan bernama AdNow.
Fazze adalah bagian dari AdNow, yang merupakan perusahaan pemasaran digital dan terdaftar di Rusia serta Inggris.
BBC berulang kali mencoba menghubungi AdNow melalui telepon, email, dan bahkan surat yang diantar kurir ke markas mereka di Moskow. Namun, perusahaan itu tidak merespons.
Akhirnya BBC dapat mengontak Ewan Tolladay, satu dari dua direktur perusahaan Adnow cabang Inggris. Tolladay tinggal di Durham.
Tolladay mengatakan dirinya hanya sedikit terlibat dengan Fazze—perusahaan yang dia sebut sebagai ventura gabungan antara direktur asal Rusia bernama Stanislav Fesenko dan orang lain yang identitasnya tidak dia ketahui.
Tolladay mengeklaim dirinya bukan bagian dari upaya menyebarkan informasi menyesatkan ke publik.
Dia juga mengeklaim dirinya bahkan tidak tahu Fazze mengontrak para influencer sebelum berita itu terungkap. Namun, dia tidak bisa memberitahu siapa klien misterius yang dilayani Fazze.
Setelah skandal terbongkar, Tolladay menegaskan “pihaknya kini melakukan tanggung jawab dan menutup AdNow di Inggris”. Dia mengatakan Fazze juga akan ditutup.
BBC telah berupaya meminta Fesenko berbicara, namun tidak ada tanggapan.
Baik aparat Jerman maupun aparat Prancis telah menggelar penyelidikan terhadap Fazze yang mendekati para influencer. Hingga saat ini identitas klien perusahaan itu belum jelas.
Ada spekulasi keterlibatan Rusia dalam skandal ini dan kepentingan pemerintah Rusia dalam mempromosikan vaksinnya, Sputnik V.
Omid Nouripour, juru bicara bidang kebijakan luar negeri dari Partai Hijau di Jerman, menganjurkan agar menyelidiki keterlibatan Moskow di balik kampanye Fazze.
“Menjelek-jelekkan vaksin di Barat melemahkan kepercayaan pada demokrasi kita dan ditengarai meningkatkan kepercayaan pada vaksin Rusia. Hanya ada satu sisi yang memeroleh manfaat dan itu adalah Kremlin,” ujar Nouripour.
Kedutaan Rusia di London membantah anggapan tersebut.
“Kami memperlakukan Covid-19 sebagai ancaman global dan, karena itu, tidak tertarik melemahkan upaya global dalam melawan [pandemi]. Memvaksinasi orang dengan vaksin Pfizer adalah salah satu cara menangani virus ini.”
Meskipun kampanye Fazze gagal, Leo Grasset yakin upaya tersebut bukanlah upaya terakhir untuk menggunakan kekuatan influencer sosial guna menyebarkan hoaks.
“Jika Anda ingin memanipulasi opini publik, khususnya anak-anak muda, Anda tidak menggunakan TV,” kata Grasset.
“Belanjakan anggaran yang sama untuk pembuat konten TikTok, YouTube. Seluruh ekosistem dibangun sempurna untuk memaksimalkan efisiensi penyebaran disinformasi.”