MATA INDONESIA, TOKYO – Kebiasaan sosial di Jepang saat ini tengah mengalami perubahan. Jepang mulanya sangat dikenal dengan aktivitas sosialnya yang berkelompok.
Sekitar 10 tahun lalu banyak orang Jepang akan merasa malu jika terlihat bersantap sendirian di sekolah atau kantin kantor. Sedemikian malunya, orang yang memilih sendiri akan menyantap makanannya di bilik WC karena mereka tidak ingin teman-temannya berpikir jika mereka tidak punya seseorang untuk diajak bersantap bersama. Jepang memiliki budaya keseragaman dan menjadi bagian dari sebuah kelompok yang harus dijunjung tinggi.
Nah, saat ini kondisinya berbalik. Selain karena persoalan pandemi yang memaksa pengurangan kerumunan, di Jepang sekarang ini banyak ditemukan fasilitas pelayanan-pelayanan yang menyediakan tempat bagi mereka yang ingin menghabiskan waktunya sendiri. Gerakan ini disebut Ohitorisama. Jika diterjemahkan secara bebas Ohitorisama bermakna sendirian.
Sejak muncul gerakan ini di tahun 2012, mulailah banyak bermunculan tempat makan, hiburan malam dan tempat lainya yang mengusung tema sendiri.
Seperti Bar Hitori yang dibuka tahun 2018. Mereka menyediakan tempat di distrik Shinjuku yang khusus dirancang untuk pengunjung yang ingin mabuk sendirian.
Termasuk kebiasaan makan. Yakiniku atau “daging panggang” biasanya melibatkan sekelompok orang yang mengitari meja restoran atau memasak ayam, daging sapi, atau daging babi saat berkemah. Dengan Ohitorisama, satu-satunya orang yang memanggang daging dan memakannya adalah Anda.
Selain itu ada tempat hiburan seperti 1Kara yaitu tempat karaoke yang mengubah kamar-kamar berukuran besar menjadi studio karaoke seukuran bilik telepon untuk satu orang.
Banyaknya masyarakat Japang yang mengikuti tren tersebut memperlihatkan adanya perubahan sosial. Masyarakat Jepang menjadi lebih egois dan individualis. Warga Jepang sudah tak malu lagi jika mereka melakukan kegiatan sendiri dan tanpa melibatkatkan kelompok.
BBC mewawancarai warga Jepang bernama Matsushita. Warga ini mengatakan dirinya sekarang lebih percaya diri dan mandiri serta tidak tergantung kepada keluarga. Tak hanya itu dengan gerakan ini, keinginan warga untuk menikah dan bekeluarga juga berkurang.
Meningkatnya gaya hidup Ohitorisama membuat masyarakat Jepang mengalami perubahan drastis dalam hal demografi. Menurut data sensus jumlah orang yang hidup sendiri meningkat dari 25 persen pada 1995 menjadi lebih dari 35 persen pada 2015, Merosotnya jumlah pernikahan juga berdampak pada menurunya jumlah kelahiran.
Dampak gerakan ini, Jepang akan seperti negara-negara di Eropa Barat. Euromonitor International, sebuah perusahaan riset pemasaran independen di London merilis sebuah penelitian tahun 2019 yang memperkirakan pertumbuhan orang hidup sendirian di dunia sebesar 128 persen.
Reporter : Ananda Nuraini