MATA INDONESIA, JAKARTA – Bagi Anda yang pernah merasakan hidup di tahun 1980an, tak asing lagi dengan lagi ‘Hati Yang Luka’. Lagu yang dibawakan Betharia Sonata ini cukup mendayu-dayu dan merintih. Simak saja liriknya.
Berulang kali aku mencoba selalu untuk mengalah
Demi keutuhan kita berdua walau kadang sakit
Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu
Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu
Samakah aku bagai burung di sana yang dijual orang?
Hingga sesukamu kau lakukan itu, kau sakiti aku
Dulu bersumpah janji di depan saksi, uwo-uwo
Namun semua hilanglah sudah ditelan dusta, uwo-uwo
Namun semua tinggal cerita hati yang luka.
Lagu karya Obbie Mesakh ini semakin dramatis saat ditayangkan di TVRI dalam bentuk video klip. Sama seperti liriknya, Betharia Sonata merintih menangis saat ditampar oleh seorang lelaki yang di video itu adalah sosok seorang suami.
Tak hanya Betharia Sonata. Tahun 80 an, musik Indonesia didominasi oleh rintihan, tangisan dan rayuan biduanita-biduanita cantik. Sebut saja Dian Pisesha yang berhasil menjual kaset Tak Ingin Sendiri sebanyak 2 juta keping, Angel Ptaff, Ria Angelina, Ratih Purwasih, Iis Sugianto.
Malah lagu Nia Daniaty berjudul Gelas-Gelas Kaca mendapat kritikan.
Fenomena lagu cengeng ini nyatanya bukan hanya datang dari satu penyanyi dan satu pencipta saja. Di masa tersebut nama-nama seperti Rinto Harahap, Obbie Mesakh, A. Riyanto hingga Pance Pondaag menjadi sorotan.
Nama-nama diatas merupakan para pencipta lirik-lirik yang dianggap cengeng namun fenomenal pada masanya. Melalui tangan mereka, sejumlah lagu cengeng pun dinyanyikan oleh para penyanyi berbakat produksi JK Record.
Maraknya lagu dengan tema patah hati ini membuat pemerintah resah. Akhirnya pemerintah melalui Menteri Penerangan saat itu Harmoko membuat larangan agar lagu-lagu patah hati tersebut tidak ditayangkan di televisi hingga radio. Harmoko, pemilik Koran Pos Kota menganggap bahwa lagu tersebut dianggap melemahkan sekaligus mematahkan semangat.
Harmoko memang unik. Sebagai jurnalis seharusnya Harmoko memahami lirik demi lirik yang dibuat para pencipta lagu itu. Misalnya lagu Gelas-Gelas Kaca karya Rinto Harahap. Lagu ini kalau dibedah secara lirik memiliki makna yang mendalam tentang anak-anak yatim piatu yang berada di panti asuhan. Kala itu Rinto bersama dengan Nia Daniati sedang mengunjungi sebuah panti asuhan. Rinto pun tersentuh melihat Nia yang cukup akrab dengan anak yatim piatu tersebut. Mereka yang terlantar hanya bisa mengadu dan menangis dibalik kaca. Sejak saat itulah ide untuk menulis lirik dalam lagu Galas-Gelas Kaca tersusun hingga membentuk sebuah lirik yang mendalam.
Kebijakan yang dikeluarkan Harmoko, lebih kepada upaya dia menjalankan perintah kekuasaan. Sebagai jurnalis, Harmoko sebenarnya paham apa yang ada dalam setiap lirik yang dibuat pencipta lagu. Namun karena aransemen lagu-lagu tersebut sangat sederhana dan standard, sehingga lagunya terkesan cengeng. Apalagi dinyanyikan oleh seorang vokalis wanita dengan cara mendayu-dayu.
Di mata Harmoko, lagu-lagu semacam itu menghambat pembangunan nasional. Lagu-lagu yang cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja. TVRI punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja. Bagi Harmoko, semangat bekerja rakyat dalam pembangunan tidak akan berhasil apabila mata acara TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai “ratapan patah semangat berselera rendah, keretakan rumah tangga, atau hal-hal cengeng.”
Cengeng bagi Harmoko tapi berbeda dengan respons masyarakat. Rinto Harahap, yang saat itu Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) menyatakan justru lagu semacam itu banyak diminta masyarakat, buktinya terjual sampai ratusan ribu kaset.
Seiring waktu, musik cengeng dan mendayu-dayu pun kurang diminati masyarakat. Menjelang tahun 90 an, jenis musik inipun sudah mulai berkurang. Muncul jenis musik baru yaitu Pop Alternatif.
Reporter: Gilang Permata