Home Cuitan MI Garis Imajiner Yogyakarta, Atmosfir Spiritual Keraton dengan Gunung Merapi

Garis Imajiner Yogyakarta, Atmosfir Spiritual Keraton dengan Gunung Merapi

0
2282
garis imajiner yogyakarta
Garis imajiner Yogyakarta. (kniu.kemendikbud.go.id)

MATA INDONESIA, JAKARTA – Meski sebagian besar tubuh Gunung Merapi berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah, namun masyarakat Yogyakarta lah yang memberi makna lebih kepada gunung teraktif tersebut.

Gunung itu bahkan menjadi satu kesatuan kosmik kebudayaan warga Yogyakarta yang letaknya pada posisi istimewa. Sehingga penempatannya layak dalam satu garis lurus imajiner filosifis yang menghubungkannya dengan Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan. Apakah makna garis imajiner itu?

Garis imajiner Yogyakarta atau sebutannya Sumbu Filosofis Yogyakarta merupakan sebuah garis tegak imajiner (khayal) di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Garis itu memanjang dari utara ke selatan yang menghubungkan Gunung Merapi di utara dengan Pantai Prangkusumo ataupun Parangtritis di selatan. Namun melewati Keraton Yogyakarta.

Sumbu filosofis itu melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan tuhannya. Manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam.

Garis itu memiliki makna filosofis yang sangat tinggi di kesultanan tersebut. Dan menjadi salah satu acuan tata kota dari wilayah yang terlewati.

Selain itu, keberadaan garis imajiner ini menjadi keunikan tersendiri bagi Kota Yogyakarta.

Berbicara garis imajiner Yogyakarta, konon Panggung Krapyak ke utara hingga Kraton melambangkan perjalanan manusia sejak menjadi bayi ketika lahir, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak.

Sedangkan garis dari Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta, Tugu Golong Gillig dan Panggung Krapyak juga merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan manusia.

Namun, dari semua titik-titik pada garis imajiner tersebut, Keraton Yogyakarta lah yang menjadi pusatnya.

Keraton menjadi sakral dan suci karena berada di antara enam sungai secara simetris. Yaitu Sungai Code, Gajah Wong, Opak Winongo, Bedhog dan sungai Progo.

Sebelum kesultanan itu berdiri Sri Sultan Hamengku Buwono I telah memikirkan konsep penataan kota yang demikian unik.

Menurut sejarah, setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi mendapatkan wilayah kekuasaan setengah dari Mataram.

Mangkubumi kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I dan menguasai daerah Alas Mentaok yang sekarang menjadi Yogyakarta.

Untuk menjalankan pemerintahannya Pengeran Mangkubumi mulai membangun keraton di bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjiwati. Tak hanya itu, ia juga membuka lahan di daerah hutan Krapyak.

Sri Sultan Hamngku Buwono I mulai membangun keraton pada 9 Oktober 1755. Proses pembangunan tersebut memakan waktu hingga satu tahun dan baru pada 7 Oktober 1756, Sultan dan keluarganya menempati keraton ini.

Dalam membangun ibu kota kesultanan itu, Pangeran Mangkubumi tidak sembarangan. Banyak bangunan bersejarah dan monumental di Kota Yogyakarta yang desain pembangunannya tersusun sedemikian rupa. Sehingga berada dalam satu garis lurus yang membentuk sebuah sumbu imajiner.

Selain itu, ia juga membangun kota dengan konsep Catur Gatra Tunggal yang menyatukan elemen pemerintahan, ekonomi, sosial, dan agama. Di antaranya membangun Keraton Yogyakarta, Pasar Beringharjo, Alun-Alun, dan Masjid Gedhe Kauman.

Setelah dibangunnya garis imajiner tersebut, Gunung Merapi menjadi titik paling utara dari garis itu.

Meski sering erupsi bahkan pada erupsi 2010 memakan banyak korban, namun dalam kepercayaan Jawa, Gunung Merapi justru sebagai penyeimbang Pulau Jawa. Sehingga saat Keraton menyelengarakan ritual, di Gunung Merapi, kuncen dan rakyat di sana juga menyelenggarakannya.

Dalam legenda, ada anggapan Pulau Jawa tidak seimbang. Kepercayaan masyarakat Jawa pulau itu miring ke sebelah barat. Penyebabnya, di ujung itu terdapat banyak gunung sedangkan di tengah dan timur tidak ada.

Lucas Sasongko Troyoga dalam bukunya yang berjudul “Manusia Jawa dan Gunung Merapi” menyatakan untuk menyeimbangkan Pulau Jawa itulah, Dewa Krincingwesi kemudian memerintahkan memindahkan Gunung Jamurdwipa di barat Pulau Jawa ke tengah Pulau Jawa. Persis seperti tempat berdirinya Gunung Merapi.

Namun pemindahan Gunung Jamurdwipa ini menghadapi kendala, salah satunya lantaran ada dua empu sakti yang hidup di tengah pulau jawa. Keduanya adalah kakak beradik Empu Rama dan Permadi. Para Dewa yang mendatangi keduanya mengakui kesaktian mereka.

Mereka meminta keduanya pindah karena tempat tersebut akan digunakan untuk menancapkan pasak bumi penyeimbang Pulau Jawa.

Namun, kedua empu itu menolak dengan alasan mereka sedang mengerjakan keris yang harus selesai. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan.

Mendengar hal itu, Dewa Krincingwesi murka lalu menjatuhkan Gunung Jamurdwipa di atas mereka, kedua empu itu pun terkubur hidup–hidup. Roh keduanya menjadi penjaga Gunung Merapi hingga sekarang. Keduanya bahkan menjabat sebagai raja dari semua makhluk halus di Merapi.

Begitulah hubungan antara Keraton Yogyakarta dan Gunung merapi. Akhirnya menjadi kepercayaan masyarakat sebagai cerita asal – usul dari garis imajiner Yogyakarta. Menurut sejarah, kisah ini masih menjadi kepercayaan bagi masyarakat Yogyakarta.

Reporter: Reygita Laura

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here