Duh, Narkotika Menjadi Bisnis Utama di Afghanistan

Baca Juga

MATA INDONESIA, KABUL – Sebagai produsen besar obat adiktif, narkotika menjadi bisnis yang menjanjikan untuk membantu pemulihan pemerosotan ekonomi di Afghanistan.

Sebagai informasi, pemerosotan ekonomi di Afghanistan karena penarikan dukungan komunitas internasional terhadap Afghanistan. Apalagi Taliban sekarang yang berkuasa di Afghanistan.

Sejak lama, Afghanistan memang terkenal sebagai negara yang memproduksi heroin. Namun baru-baru ini Afghanistan juga memproduksi sabu. Bahkan produksi sabu di Afghanistan kian lama kian meningkat. Nantinya, obat adiktif ini akan diekspor ke berbagai negara

Awal mula produksi sabu terpicu oleh temuan yang menyebutkan bahwa ephedra (ramuan liar) dapat membuat efedrin, yang tak lain adalah bahan utama sabu.

Menurut pengakuan salah seorang pedagang narkotika, setiap harinya ada sekitar 3.000 kilogram sabu yang produksinya di lebih dari 500 “pabrik darurat”. Pabrik darurat tersebut memang berada di wilayah khusus penghasil narkotika, tepatnya berada di sebuah distrik terpencil di barat daya Afghanistan.

Kemudian mengenai pusat perdagangan dan tempat jual-belinya, dilakukan di dalam gurun. Di tempat inilah sabu dalam skala besar dijual.

Sebelumnya memang Taliban telah mengenakan pajak atas ephedra, dan kemudian melarang para petani untuk menanamnya. Namun meski dilarang, Taliban masih mengizinkan pabrik sabu beroperasi.

Hal ini tidak membuat para petani dan pedagang takut, lantaran di gudang mereka persediaan bahan baku sabu masih penuh. Bahkan, larangan penanaman ephedra ini justru membuat pedagang untung besar, lantaran harga grosir sabu naik berkali-kali lipat hanya dalam semalam.

David Mansfield, pakar perdagangan narkotika Afghanistan, mengatakan bahwa larangan ephedra baru muncul usai panen ephedra, sehingga larangan ini tidak akan berdampak apa pun bagi para pedagang sabu hingga Juli tahun depan.

Akibat larangan tersebut, beberapa pekan terakhir, para petani di Afghanistan pun berjaga-jaga mencari alternatif lainnya dan mempersiapkan ladang mereka untuk menanam benih opium.

Ini mereka lakukan lantaran tanaman lain tidak dapat menghasilkan banyak uang untuk mereka. Menanam sayuran seperti tomat dan okra pun membutuhkan pengeboran sumur, dan jika mereka menanam sayuran, hasil panen mereka tentu tidak akan menghasilkan banyak uang dan hanya mampu membayar setengah dari biaya sumur.

Untuk itulah mereka memutuskan untuk menanam bahan-bahan baku untuk membuat narkotika saja ketimbang yang lainnya.

Lama kelamaan ternyata Taliban juga memberlakukan aturan yang sama seperti ephedra, yakni memberlakukan kebijakan larangan penanaman opium. Namun lagi-lagi hal ini masih dapat teratasi oleh para petani. Karena sebelumnya mereka sudah memiliki strategi menanam benih opium dalam jumlah besar.

Bilal Karimi, Juru Bicara Taliban di Kabul, mengatakan bahwa mereka tengah mencarikan jalan alternatif bagi petani selain menanam bahan-bahan narkotika.

Seorang petani opium juga membeberkan bahwa opium lah yang membuat para Taliban berhasil memiliki apa yang mereka inginkan, karena pajak atas opium menjadi sumber pendapatan mereka.

Ia menambahkan, para petani dan pedagang narkotika tidak akan pernah berhenti berkecimpung dalam bisnis tersebut, kecuali jika komunitas internasional bersedia membantu rakyat Afghanistan.

Dan menurut salah satu sumber lokal, satu kilogram heroin untuk ekspor  harga jualnya dengan kisaran harga 210.000 rupee Pakistan (Rp 17 juta). Dan jika narkotika sudah masuk ke wilayah Eropa, seperti Inggris, maka harga akan melonjak, yakni sekitar Rp 120 juta.

Pendapatan yang besar inilah yang membuat Taliban juga mendapatkan keuntungan besar. Mansfield memperkirakan, di tahun 2020 Taliban menerima sekitar US$35 juta (Rp502 miliar) dari pajak produksi obat-obatan adiktif tersebut.

Perdagangan narkotika juga tidak hanya untuk keperluan ekspor. Namun juga kerap di perjualbelikan kepada penduduk Afghanistan sendiri.

Terkadang jual beli ini terjadi di pinggiran ibu kota Kabul. Ada banyak sekali pria pecandu yang berkerumun membentuk beberapa kelompok sambil mengonsumsi rokok heroin dan sabu.

Sebelum Afghanistan berkecimpung dalam bisnis narkotika, penduduk Afghanistan harus mengimpor narkotika dari Iran dengan harga yang mahal. Satu gram sabu saja taksirannya seharga 1.500 Afghani (Rp215.000).

Dan setelah Afghanistan memproduksi sendiri, harga jauh lebih murah. Untuk satu gram taksirannya hanya seharga 30 – 40 Afghani (Rp40.000).

Sebenarnya Taliban sudah membawa para pecandu narkotika ke pusat rehabilitasi obat-obatan yang kekurangan sumber daya, namun mereka kerap kembali ke lokasi tersebut.

BBC/Reporter: Intan Nadhira Safitri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini