Home Cuitan MI Demokrasi Indonesia Sudah Sampai Titik Mana?

Demokrasi Indonesia Sudah Sampai Titik Mana?

0
228

MATA INDONESIA, JAKARTA – Demokrasi di Indonesia memiliki indikasi cacat berdasarkan indikator dan kriteria. Ini cukup mengkhawatirkan dalam kondisi pandemi Covid-19 sekarang ini.

Hal ini dikemukakan August Mellaz, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, ketika menjadi narasumber di program Biotik (Bioskop Politik) yang diselenggarakan Party Watch (Parwa) Institute pada Jum’at, 28 Mei 2021, via Instagram Live.

”Bagaimana menjaga iklim demokrasi tetap berlangsung dalam situasi yang kondusif tetapi juga berhadapan dengan segala bentuk yang dikatakan sebagai emergency atau kedaruratan terutama situasi pandemik,” ujarnya.

August melanjutkan situasi tersebut dengan mencontohkan beberapa negara lain seperti Turki dan Burlgaria. Hal ini menurutnya menjadi sebuah gelagat bahwa otoritas politik yang dipilih melalui demokratis, hanya karena pandemik akhirnya dijadikan semacam dalih untuk menanggalkan sejumlah hal terkait pelaksanaan demokrasi.

”Misalnya istilah dalam disiplin demokrasi. Pemimpin politik yang terpilih melalui demokratis hanya menkonsentrasikan kekuatan politik pada dirinya,” katanya.

Artinya, August menegaskan harusnya banyak lembaga politik ikut berpartisipasi. Namun kenyataanya sekarang ini malah terkonsentrasi pada lembaga eksekutif. ”Dan ini riil terjadi bahkan sekarang di Indonesia,” katanya.

Ia mencontohkan revisi undang-undang Pemilu yang kemudian tidak dilanjutkan pembahasannya oleh lembaga eksekutif. Padahal, sistem demokrasi di Indonesia ada lembaga legislatif.

”Pekerjaan rumah kita dalam demokrasi yang harus dijaga. Dalam situasi pandemi sekarang ini seharusnya ada semacam mandat untuk menemukan suatu titik keseimbangan”  ujarnya.

Hal itu diperlukan, lanjut August, agar yang namanya kedaruratan itu bisa dikalkulasi sedemikian rupa tanpa menanggalkan substansi demokrasi.  ”Itu kemudian dinilai tertanggalkan atau terabaikan. Ada sejumlah peristiwa yang sampai sekarang masih menghiasi persoalan bangsa ini, misalnya terkait dengan UU KPK sampai urusan aparatur KPK termasuk revisi UU MK yang dilakukan begitu cepat ataupun revisi UU Pemilu yang diputuskan tidak dilakukan pembahasan secara formal,” katanya.

Dalam konteks revisi UU dilakukan di wilayah-wilayah yang sebenarnya menyisakan pertanyaan. Apakah ada legitimasi atau legalitas yang bisa terpenuhi. Menurutnya, sebenarnya di titik itu yang kemudian tidak ketemu dan ada semacam upaya yang saling menegasikan.

“Inikan ada ilustrasi di demokrasi sebenarnya ada otoritas politik, partai politik, ada lembaga politik dan ada juga masyarakat, NGO/ Civil Society. Dalam kurun waktu 2-3 tahun belakangan, gap-nya semakin kencang, selalu itu tidak bisa dicari dititik temu antara aspirasi politik dan aspirasi public dari lembaga-lembaga formal. Itu PR buat kita,” katanya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here