MATA INDONESIA, SYDNEY – Pada 15 September, Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyepakati pakta pertahanan terbaru bernama Aukus. Cina mengkritik tindakan itu tak bertanggung jawab dan berisiko merusak perdamaian.
Langkah awal berfokus pada pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Angkatan Laut Australia.
Australia akan menjadi negara ke-7 di dunia yang mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir setelah AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis, dan India.
Sebelumnya teknologi pembuatan kapal selam bertenaga nuklir hanya dibagikan kepada Inggris oleh Amerika Serikat. Teknologi itu memungkinkan Australia memiliki kapal selam yang cepat melaju dengan senyap dan lebih sulit dideteksi dibanding armada kapal selam konvensional. Kemampuan kapal selam bertenaga nuklir yaitu menyelam secara berbulan-bulan dan menembakkan misil lebih jauh.
Menurut sejumlah analisis, pakta pertahanan kali ini terlihat paling signifikan oleh ketiga negara sejak Perang Dunia II. Guy Boekenstein dari lembaga kajian Asia Society Australia mengatakan ketiga negara benar-benar menarik garis dan menangkal langkah agresif Cina.
Dari kesepakatan yang dibentuk, tidak disebut akan kekuatan militer Cina di kawasan Indo-Pasifik, namun merujuk pada kerisauan terhadap keamanan kawasan yang berkembang signifikan.
Dilansir dari BBC News, bahwa AS, Inggris, dan Australia membuat pernyataan “ini adalah peluang bersejarah bagi ketiga negara, dengan sekutu dan mitra yang berpikiran serupa untuk melindungi nilai-nilai bersama serta mempromosikan keamanan dan kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik”.
Kapal Selam
Pakta Aukus pun setuju untuk saling berbagi informasi dan teknologi antar tiga negara di sejumlah bidang yang mencakup intelijen, teknologi kuantum, dan pembelian misil jelajah. Di antara bidangnya, kapal selam menjadi kunci.
Pembuatan kapal-kapal selam ini di Adelaide, Australia Selatan. dengan batuan AS dan Inggris dalam persediaan konsultasi teknologi produksi.
Menurut Michael Shoebridge, selaku Direktur Pertahan, Strategi, dan Keamanan Nasional dari lembaga Australian Strategic Policy Institute, walaupun kapal selam bertenaga nuklir memiliki kemampuan pertahanan yang luar biasa, di luar dari itu tetap ada konsekuensi bagi kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, kapal-kapal ini mampu jadi penggentar yang kuat tanpa senjata nuklir.
Proses pembuatan kapal akan memakan waktu yang lama karena Australia kekurangan infrastruktur nuklir. Rencananya akan ada delapan kapal selam.
Ketika pembuatan selesai, sesuai keinginan Australia yang tak ingin ada senjata hulu ledak nuklir, kapal-kapal selam ini hanyalah reaktor nuklir biasa.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mengatakan akan ada waktu konsultasi selama 18 bulan bersama tim dari tiga negara untuk memutuskan bagaimana cara kerja dan memastikan kepatuhan dengan komitmen non-proliferasi.
Kemitraan Aukus unik, karena langkah ini menurut analisa memperlihatkan AS dan Inggris siap menempuh langkah besar untuk mengeksplor teknologi nuklir ke negara tanpa nuklir.
Prioritas Pakta Aukus
Dalam beberapa tahun terakhir, Cina menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Shoebridge mengatakan tentang kerja sama, lalu terjadi nya ancaman terhadap Taiwan, rangkaian kejadian di Hong Kong, dan rentetan militerisasi di Laut Cina Selatan.
Shoebridge juga menambahkan adanya Pakta Aukus akan menguntungkan banyak pihak yang khawatir tentang kekuatan Cina.
Di sisi lain, ini adalah bagian dari peralihan geopolitik Presiden Xi Jinping. Pakta Aukus bertepatan dengan keterlibatan negara-negara demokrasi besar di dunia untuk mencegah Cina menggunakan kekuatan.
Kejadian beberapa tahun terakhir, Cina mendapat tuduhan meningkatkan ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan. Lalu pada 13 September 2021 lalu, nelayan di Kepulauan Riau ketakutan melihat enam kapal asal Cina berkeliaran di Laut Natuna Utara. Kapal yang terlihat jelas adalah kapal destroyer Kunming-172.
Cina mengkritik Pakta Aukus tidak bertanggung jawab dan berpikiran sempit. Zhao Lijian selaku Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, mengatakan aliansi itu berisiko merusak perdamaian kawasan dan mengintensifkan perlombaan senjata. Ia juga menambahkan perihal perang dingin yang sudah tak berlaku.
Ancaman Cina
Analisis Alexander Neill memerhatikan ambisi Cina mendirikan pulau-pulau buatan yang menampung sejumlah pangkalan militer di Laut Cina Selatan. Padahal sebelumnya pulau-pulau itu hanya lahan berpasir dan terumbu yang terlihat saat air laut sedang surut.
Atas pengamatannya, Neill menilai elemen krusial bagi ambisi Cina dalam mendirikan pulau-pulau buatan terletak di bawah permukaan laut. Pulau itu menjadi sarang bagi kapal selam Cina untuk berpatroli di Laut Cina Selatan sampai Samudera Pasifik tanpa terdeteksi.
Perairan yang mencakup Laut Cina Selatan terdapat landas kontinen yang mencapai kedalaman 4.000 meter. Ini cocok untuk persembunyian kapal selam. Sama halnya dengan perang dingin saat AS dan para sekutu menciptakan jaringan mengintai di dasar laut.
Ada satelit yang mengindikasikan pulau-pulau buatan Cina itu penuh dengan sensor canggih. Termasuk perlengkapan radar dan stasiun komunikasi yang terhubung satelit. Hal ini menjadi perlengkapan kewaspadaan Angakatan Laut Cina di atas dan di bawah permukaan Laut Cina Selatan.
Reporter: Annisaa Rahmah