MATA INDONESIA, JAKARTA – Dongeng merupakan tradisi lisan yang sudah ada sejak lama. Tradisi ini diturunkan secara turun-temurun di tiap generasinya. Dongeng dinilai efektif dalam menanamkan kecerdasan moral dan ampuh dalam meningkatkan prestasi suatu bangsa.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh David McCelland, Pakar Psikologi Sosial Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dongeng sangat mempengaruhi kecerdasan suatu bangsa.
Penelitian yang dilakukan McCelland menunjukan bahwa negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi adalah negara yang memiliki dongeng dan terkandung need for achievement (kebutuhan prestasi) di dalamnya.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa rendahnya prestasi bangsa Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tak kunjung berkembang, maupun rusaknya mental sebagian masyarakat bisa saja disebabkan oleh kualitas dongeng yang biasa di konsumsi bangsa Indonesia.
Menurut Ismail Marahaimin, Guru Besar Fakultas Budaya Universitas Indonesia, dongeng Si Kancil Mencuri Mentimun sangat populer di Indonesia. Namun, dongeng ini bisa menjadi salah satu alasan rusaknya mental pemimpin bangsa di negeri ini. Kancil mencerminkan tokoh yang cerdas tapi licik. Sehingga tanpa disadari, sifat yang dimiliki kancil akan ditiru oleh anak-anak.
Tidak semua dongeng baik dikonsumsi oleh anak-anak. Pandangan orang tua sangat dibutuhkan dalam memilih dongeng yang cocok dengan perkembangan psikologis anak. Hal lain yang baiknya dilakukan ialah menjadikan dongeng masa kini sebagai alternatif lain menggantikan dongeng tradisional.
Selain Si Kancil Mencuri Ketimun, ada beberapa dongeng yang kurang layak dibacakan pada anak-anak. Misalnya, Sangkuriang, legenda dari Jawa Barat ini menceritakan tentang kisah percintaan yang dijalani oleh ibu dan anak. Terdapat pula kekerasan terhadap anak didalamnya.
Begitu pula dengan Batinato, cerita daerah dari Papua. Banyak hal-hal yang tidak masuk akal dalam cerita ini. Dikisahkan Atete, seorang laki-laki yang hamil karena tidak sengaja memakan darah menstruasi istrinya dan melahirkan seorang bayi saat buang air besar. Tentunya, hal seperti ini tidak layak diceritakan pada anak-anak.
Reporter: Diani Ratna Utami