Mata Indonesia, Jakarta – Alkisah, pada suatu ketika, Bapu Mahatma Gandhi, kedatangan seorang ibu yang membawa serta anaknya. Di hadapan Gandhi ibu ini mengeluh, karena sudah berbulan-bulan, ia tidak berhasil melarang anaknya makan garam.
Larangan itu, alkisah, berkaitan dengan penyakit yang diderita sang anak. Fatwa sejumlah ahli kesehatan, pada masa itu, sama. Jika ingin pulih anak ini harus menjalani theraphi mengurangi makan garam. Kalo bisa berhenti.
Mirisnya, nasehat ini tidak pernah digubris oleh anak tadi. Anak ini tetap ketagihan asin. Ia tak mau makan jika tanpa garam – yang seringkali porsinya di atas kewajaran.
Walhasil, karena urgensi dan rasa frustasinya mengendalikan kegemaran si anak, sang ibu akhirnya nekat mengadu ke Mahatma Gandhi.
Kepada Mahatma Gandhi sang ibu berkeluh kesah tentang penyakit dan kegemaran anaknya pada garam. Syahdan, Gandhi memang menyimak dalam-dalam cerita Ibu Tadi. Namun Gandhi tak banyak bereaksi. Ia hanya berkata Kembalilah ke sini tiga pekan lagi. Cuma itu, yang diujar, tanpa wasiat apa-apa lagi.
Sang Ibu pamit dengan rasa kecewa yang mendalam. Jauh-jauh datang, ia merasa hampa. Tak memperoleh apa-apa. Bahkan sekalimat wasiat pun tak diberikan Gandi. Tapi apa mau dikata, ia tidak punya derajat untuk mendikte Bapak bangsa ini.
Tiga pekan kemudian, dengan rasa penasarannya, ia kembali menemui Mahatma Gandhi. Kali ini ia membayangkan Gandhi akan memberinya semacam herbal-herbalan gitu untuk putranya.
Namun apa yang terjadi, sama seperti pertemuan pertama, kejadiannya di luar ekspectasi dia. Gandhi hanya memegang pundak sang anak, seraya berkata, “Nak, berhentilah makan garam.” Sudah gitu saja!
Untuk kedua kalinya sang ibu tersentak. Tapi ia tahu diri, walaupun hatinya bergemuruh, ia tetap bisa mengendalikan diri. Seperti lazimnya orang yang mafhum, ia pun pulang.
Tapi apa yang kemudian terjadi. Sekembalinya dari kediaman Gandhi, sang anak dengan kemauannya sendiri, berhenti mengkonsumsi garam.
Ajaib!? Si ibu tak habis pikir. Mengapa anaknya bisa berubah begitu drastis?
Tiga hari kemudian, dengan seribu rasa penasarannya, sang ibu menemui Gandhi. Ia menceritakan segalanya secara apa adanya. Cerita ditutup dengan ketakjuban atas kepatuhan anaknya pada nasehat Gandhi.
Gandhi tertegun. Lalu Gandhi hanya mengatakan, “Sewaktu Anda datang pertama kali, saya tidak bisa memberi nasehat apa-apa, karena di waktu itu, saya sendiri masih makan garam. Namun setelah kepulangan Anda, saya berhenti makan garam, sampai kedatangan Anda kemudian. Dan itulah saatnya saya merasa pantas berpesan kepada Ananda agar tidak makan garam.”
Kisah ini menggambarkan bagaimana – tanpa disadari — sebuah power of worth bekerja. Orang yang “melakukan” dan yang “tidak melakukan”, kata-katanya akan memiliki power yang begitu bedanya. Memang power dari örang yang melakukan” itu tidak kelihatan, tapi mampu menembus sampai ke alam kesadaran. Begitu juga power orang yang “tidak melakukan, kekuatannya hanya sampai di angin lalu saja. Ini memperlihatkan adanya “spiritual power communication” saat seseorang berbicara.
Maka jika kembali ke realitas sehari hari, di jaman ketika nasehat dan himbauan hanya berdaya seperti angin sepoi. Terasa tapi tak berpengaruh. Terdengar tapi tak mengubah apa-apa, ada menariknya jika kita renungkan kembali cerita Gandhi atas.
Mungkin ini saatnya sebelum menghimbau orang lain agar jangan makan garam, kita “berhenti dulu mengkonsumsi garam”.
(Rasyeed Maricar, Wiraswasta.)