Merajut Perdamaian di Bumi Papua

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Sejak tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang disaksikan oleh utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Papua telah sah terintegrasi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia dengan aset sumber daya alam yang berlimpah ruah khususnya di sektor pertambangan. Papua juga memiliki aset budaya yang tidak dapat dipandang sebelah mata berupa tarian tradisional, pakaian adat, rumah adat, alat musik tradisional dan yang lainnya.

Kondisi tersebut, seyogyanya dapat menjamin rakyat Papua hidup dalam kedamaian, keamanan, serta ketentraman. Lantas apakah penyebab instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan di Papua selama ini? Kita tidak dapat menampik bahwa sampai saat ini konflik kerap kali terjadi di Papua bahkan semakin mengkhawatirkan.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan ada empat akar masalah yang melatar belakangi konflik tidak berujung yang terjadi di Papua meliputi kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan Negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Menanggapi hal ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) sebagai instrumen penyelesaian empat akar masalah tersebut. Faktanya Otonomi Khusus belum berhasil dalam meminimalisir atau mencabut akar permasalahan yang sudah tertanam sejak lama. Sebaliknya Otonomi Khusus justru menjadi pemicu konflik baru yang semakin kompleks karena berkaitan dengan konflik-konflik lama yang belum terselesaikan.

Dana Otonomi Khusus yang berjumlah triliunan rupiah itu tidak linier dengan masifnya pembangunan fisik serta pembangunan sumber daya manusia di Papua. Hasil riset LIPI pada tahun 2017 menunjukkan angka kemiskinan di Papua menanjak, indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua bahkan sangat rendah. Aneh bukan? Padahal saat itu Otonomi Khusus sudah berjalan lebih dari satu dekade. Hal ini karena dana Otonomi Khusus tidak terdistribusi sebagaimana mestinya. Korupsi birokrasi di Papua mewabah bak virus, pelayanan publik pun semakin tidak berkualitas. Kenyataan ini membuat saya sangsi sebenarnya siapa yang harus di salahkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Entahlah.

Belum lama ini tepatnya pada 28 September 2020 front mahasiswa dan rakyat Papua melakukan unjuk rasa yang dilatarbelakangi oleh ketidak puasan rakyat Papua terhadap Otonomi Khusus karena para elite tidak pernah melibatkan mereka dalam pembahasannya. Menurut mereka implementasi Otonomi Khusus membuat rakyat Papua semakin kehilangan harapan hidup. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu tidak pernah terselesaikan, bahkan pelanggaran HAM semakin marak terjadi.
Orang asli Papua masih mengalami perlakuan diskriminatif dan rasialis. Kita harus mengingat bahwa rakyat Papua pernah memiliki tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia, jika mereka terus hidup dengan ketidak adilan seperti ini maka keinginan tersebut akan muncul kembali bahkan semakin kuat, dan pada akhirnya mereka akan melakukan perlawanan yang berimplikasi menciptakan konflik baru.

Perihal Otonomi Khusus saya yakin pemerintah pusat memiliki tujuan yang baik dalam membuat kebijakan tersebut untuk hidup rakyat Papua, namun sangat disayangkan belum sepenuhnya termanifestasi. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua maupun Papua Barat harus berkolaborasi mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut guna meredam konflik yang terjadi di Papua. Saya rasa musyawarah masih relevan untuk dilakukan, tentu saja dalam musyawarah tersebut rakyat Papua harus menjadi subjek agar aspirasi mereka terserap dengan baik. Harapan saya sebagai saudara sebangsa dan setanah air musyawarah tersebut dapat menjadi wadah untuk mencapai win-win slotuion. Yaitu Papua tetap bertahan dalam pelukan ibu pertiwi dan secara bersamaan kemanan, kedamaian, serta ketentraman hidup mereka dapat terakomodasi.

Akhir kata, saya ingin mengingatkan kepada diri saya sendiri dan kita semua rakyat Indonesia bahwa orang Papua adalah saudara sebangsa dan setanah air kita sama dengan orang Aceh, orang Jawa, orang Sulawesi, orang Bali, orang Nusa Tenggara dan yang lainnya. Dimanapun mereka menapakkan kaki di tanah air mereka berhak untuk kita hargai dan hormati. Jangan pernah berpikir untuk membeda-bedakan, karena perlikau seperti itu tidak sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Jatuh bangunnya Negara ini, sangat tergantung pada persatuan bangsanya, Ayo bersatu untuk Indonesia yang lebih maju kedepannya!

“Individually, we are one drop. Together we are an ocean”. – Ryunosuke Satoro

Penulis: Sarifa Faridatil Ilmi Al Idrus.

IG: @farida_alidrus
FB: Farida Hamzah Al Idrus
Twitter: @Ida_alidrus

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini