Hoaks, Literasi, dan Kaum Milenial

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Fenomena hoaks di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan. Hoaks yang sangat bervariasi menjadi ‘santapan’ pengguna internet hingga saat ini. Bahkan, menurut hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang rilis awal tahun 2022, menunjukkan data responden sebesar 11,9% menyebarkan berita hoaks pada tahun sebelumnya.

Penyebaran hoaks sendiri tidak lepas dari peran masyarakat yang secara sadar maupun tidak sadar turut menyebarkannya lewat media sosial. Baik melalui Facebook, Instagram, termasuk grup WhatsApp. Kemudahan berbagi dengan tombol share di media sosial menjadi penyebab utama cepatnya penyebaran hoaks di Indonesia. Ibarat sebuah tongkat estafet, hoaks menyebar secara sukarela.

Selain itu, masalah literasi digital di Indonesia turut mendukung semakin maraknya penyebaran hoaks saat ini. Kemudahan akses tanpa pemahaman dan tindakan memvalidasi informasi menjadikan penyebaran hoaks semakin masif di masyarakat. Hoaks tersebut kemudian menjadi sebuah kebenaran.

Setelah hoaks sudah mulai dianggap sebagai sebuah kebenaran, petaka besar menanti. Sebagian besar masyarakat kemudian kecewa, marah, dan pada akhirnya tak terkendali. Hal ini didukung juga dengan perkembangan algoritma media sosial yang selalu menawatkan konten-konten serupa. Misal, hari ini saya menghabiskan waktu di media sosial terkait pemberitaan kasus terbunuhnya Brigadir J. Media sosial saya akan dipenuhi oleh informasi-informasi terkait kasus tersebut, termasuk beberapa hoaks yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Paparan hoaks tentu sangat merusak kehidupan masyarakat, seperti timbulnya perpecahan, munculnya keresahan dan kepanikan pada masyarakat, terancamnya kesehatan fisik dan mental, hingga mengakibatkan kerugian yang sifatnya materi.

Sebagai contoh, pada tahun lalu beredar hoaks bernarasi sejumlah ambulans ‘muter-muter’ untuk menakut-nakuti warga Kudus, Jawa Tengah agar percaya bahwa Covid-19 sudah menelan banyak korban. Hoaks tersebut beredar lewat WhatsApp yang kemudian dibantah oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (KOMINFO), serta beberapa media nasional.

Bantahan tersebut sepertinya tidak berhasil meredam amarah warga. Seperti dilansir dari laman radarsolo.jawapos.com, Minggu (17/7/2021), sejumlah teror ditujukan kepada supir ambulans setelah hoaks beredar masif di masyarakat. Para supir bahkan mengaku diludahi, dimaki-maki, hingga diacungi jari tengah oleh masyarakat.

Masih banyak hoaks lain yang beredar di Indonesia yang sudah dibantah oleh pemerintah maupun media-media. Sayangnya, upaya tersebut terlihat kurang bekerja maksimal. Seperti peribahasa yang menyebutkan “nasi sudah menjadi bubur”. Masyarakat sudah kepalang emosi, dan kerusakan pun terjadi.

Hal ini memang bukan tanpa alasan. Validasi informasi yang dilakukan pemerintah serta media pastinya setelah hoaks beredar. Sementara ‘virus’ hoaks sudah menggerogoti logika dan nalar masyarakat, sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran. Imbasnya, masyakat tidak peduli dengan bantahan tersebut.

Dari pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa penangkalan hoaks harus dilakukan sebelum hoaks tersebut tersebar luas. Masyarakat perlu disadarkan secara intens tentang bagaimana menyaring informasi sebelum kemudian membenarkan dan membagikannya.

Dalam penangkalan hoaks kali ini, kaum milenial juga perlu ambil bagian. Mirisnya, meski dianggap sudah fasih dalam bermedia sosial, nyatanya kaum milenial menjadi kelompok paling rentan terpapar hoaks. Oleh karena itu, sebelum membantu masyarakat luas, kaum milenial perlu mempersiapkan diri tentang bagaimana memahami hoaks dan cara menangkalnya.

Ada beberapa hal yang saya pernah lakukan dalam memahami dan menangkal hoaks. Mungkin para kaum milineal bisa menerapkannya juga. Pertama, mencintai aktivitas membaca. Membaca adalah jendela ilmu benar adanya. Lewat membaca, kita bisa mendapatkan banyak informasi baik lewat media sosial, situs web, dan lain-lain. Informasi yang kita peroleh dari berbagai sumber tentu memiliki ciri khas dan jalan terjalnya masing-masing.

Ibarat mendaki gunung, jika baru pertama kali menjajal gunung tersebut, maka kita mungkin perlu penyesuaian agar terbiasa. Tak jarang, kita tersesat kala salah mengambil keputusan jalan mana yang harus kita pilih. Begitu juga dalam membaca. Kita tidak bisa hanya berpatokan pada satu jenis sumber informasi. Semakin banyak sumber yang kita baca, semakin paham pula kita dengan informasi-informasi tertentu sebelum membenarkannya.

Hoaks sejatinya dikemas dengan kata-kata provokatif. Biasanya judul atau kalimat diawali dengan “Astaga….”, “Beginilah”, “Mencengangkan”, dan lain sebagainya. Jika menemukan informasi seperti ini, jangan mudah terpancing. Tidak salah untuk membaca secara menyeluruh dan biarkan nalar dan logika sendiri yang menjelaskan apakah informasi tersebut benar atau perlu validasi lagi.

Jika perlu validasi, hindari menyukai, berkomentar, apalagi membagikan informasi tersebut. Lakukan riset terkait topik tersebut, baik melalui media sosial ataupun lewat mesin pencarian. Pastikan sumbernya dapat dipercaya. Langkah awal ini tentu sangat penting, setidaknya mengurangi potensi peningkatkan reach pengguna media sosial.

Kedua adalah mengikuti kegiatan-kegiatan literasi. Tahun lalu, tepatnya Oktober 2021, saya terpilih menjadi peserta Generasi Literasi yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas sosial. Selain menambah teman, melalui kegiatan ini, saya juga mendapatkan banyak materi-materi yang berkaitan dengan literasi. Salah satu komitmen saya waktu itu adalah dapat berkontribusi di pelbagai digital platform dalam mempromosikan pentingnya literasi.

Selang beberapa bulan, April 2022, saya terpilih kembali pada batch selanjutnya menjadi fasilitator bagi peserta terpilih. Antusiasisme peserta, fasilitator, maupun panitia semakin membakar semangat saya untuk lebih berkontribusi lagi.

Ada banyak kegiatan yang saya dan teman-teman lakukan saat mengikuti kedua gerakan tersebut. Seperti resensi buku, donasi buku, membuat konten, dan lain sebagainya. Konten yang saya pilih waktu itu berkaitan dengan hoaks dan lowongan kerja palsu. Hoaks dan lowongan kerja palsu yang masih menjadi momok bagi sebagian masyarakat menjadi alasan saya memilih topik tersebut. Selain mendapat kepuasan tersendiri karena bisa berbagi ilmu dengan banyak orang, tak sedikit juga yang mengapresiasi konten sederhana saya waktu itu. Yang pasti, banyak orang yang akhirnya merasakan manfaat dari apa yang saya lakukan di media sosial.

Jika sudah mempersiapkan diri, apa yang bisa kaum milenial lakukan untuk menangkal hoaks? Tak sedikit pengalaman orang lain yang bisa kita akses di Google untuk dijadikan referensi. Namun pada kesempatan kali ini, saya hendak berbagi apa yang saya lakukan.

Dalam beberapa kesempatan saya pernah menjadi penangkal hoaks di grup WhatsApp, baik grup keluarga, tempat kerja, dan lain sebagainya. Awalnya, saya enggan melakukan dengan alasan “bukan tanggung jawab saya”, “palingan juga abai”, “ah…nanti saya dianggap sok”, dan lain sebagainya. Namun, pada akhirnya saya mencoba menjernihkan pikiran dan memutuskan menjadi penangkal hoaks di grup WhatsApp.

Beberapa kali hoaks beredar, baik tentang Covid-19, pesan berantai imbauan Bank Indonesia, lowongan kerja BUMN, dan masih banyak lagi. Saya menyadari bahwa yang saya lakukan tidak salah dan penyampaian saya juga sopan, tak sedikit anggota grup akhirnya menerima. Selain tujuan meluruskan, kita juga turut memberi tahu mereka bagaimana memvalidasi sebuah informasi sebelum dibagikan. Terkesan sederhana, namun manfaatnya sangat besar.

Untuk menyimpulkan, penangkalan hoaks merupakan tanggung jawab kita semua, termasuk kaum milenial. Dengan segala keterbatasan, kita bisa berkontribusi meskipun terlihat sederhana namun dampaknya besar.

Penulis: Suwandonadi Simanullang
IG: @suwandonadi 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Perjuangkan Kesejahteraan Buruh dan Petani, Dani Eko Wiyono Siap Maju Calon Bupati Sleman Melalui Jalur Independen

Mata Indonesia, Sleman - Alumni aktivis 98 sekaligus aktivis yang selalu menyuarakan aspirasi buruh/pekerja Daerah Istimewa Yogyakarta, Dani Eko Wiyono ST. MT ini bertekad maju bakal calon bupati Sleman dalam Pilkada Sleman nanti. Dani menilai, hingga saat ini, mayoritas kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh masih dianggap hanya sebagai tulang punggung ekonomi bangsa tanpa diperjuangkan nasib hidupnya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini