Getirnya Humor Gelap, Sindiran atau Kritikan?

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Belakangan ini dark comedy (humor gelap)  ramai menghiasi dunia maya.

Dulu, humor gelap sering digunakan dalam film-film kartun yang cukup terkenal, seperti The Simpsons, South Park, dan Family Guy. Yang terbaru diinisiasi oleh Fizi.

Kesedihan Upin dan Ipin jadi punch line yang membuat kita tertawa getir. Ada yang bilang jagat meme sedang mengembangkan kecenderungan masokis — dalam artian menemukan tawa dan kesenangan dalam kegelapan atau hal yang tabu. Namun jujur saya melihatnya sebagai ironi dan ketumpulan empati.

Saya merasa bahwa humor gelap itu menyinggung, tidak pantas, dan kontroversial. Hal itu, ya… gelap. Tetapi, jika dijalankan dengan benar, humor tesebut dapat menjadi lucu. Humor gelap mengungkapkan dirinya sendiri sebagai aliran humor yang mungkin tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan. Jadi jika kita melihat sebuah konten yang disertai peringatan ‘humor gelap’, kita harus bersiap-siap untuk disuguhi hal yang mungkin di luar nalar. Humor tersebut mungkin dianggap lucu oleh sebagian orang—dan jika iya, kita mungkin akan merasa sedikit bersalah karena tertawa.

Hal serupa sudah pernah terjadi beberapa bulan lalu, dan banyak dari kita menunjukkan respons yang saya rasa tepat. Hal tersebut terjadi saat Coki Pardede dan Tretan Muslim menjadikan hukum Islam sebagai olahan materi mereka. Pada saat mereka memasak daging babi dengan kurma. Saat itu banyak yang marah, meski sayang sekali pelampiasan marahnya kurang asyik.

Pelampiasan yang asyik itu, misalnya, seperti yang dilakukan oleh Husein Ja’far. Habib muda tersebut secara langsung mengajak duo komedian itu untuk berkolaborasi. Atau seperti apa yang dilakukan oleh Sakdiyah Ma’ruf, seorang komedian tunggal perempuan pertama di Indonesia. Dia mengedukasi kita lewat counter narasi via Twitter soal humor gelap. Ia bilang, humor gelap seringkali berasal dari kulminasi kepahitan orang-orang yang memikul beban yang berat, bukan berasal dari mereka yang ngaku-ngaku gelap. Langston Hughes, seorang sastrawan Amerika Serikat pernah berkata, “Aku tertawa agar aku tidak menangis.

Sakdiyah juga memberikan contoh dari lawakan Srimulat, tentang bagaimana caranya membuat telur satu butir bisa bertahan satu bulan. Caranya rebus sebuah telur, ambil sepiring nasi, cium telurnya, lalu makan nasinya. Lakukan hal itu terus-menerus maka telur tersebut dapat bertahan satu bulan. Lawakan lucu tentang betapa pahitnya kemiskinan.

Ada pula sebuah humor yang terkenal tentang stereotip bangsa Yahudi yang amat pandai. Ketika seorang Yahudi ditanya mengapa dirinya mendukung tindakan aborsi, ia menjawab, “Itu karena kami tidak menganggap seorang anak sebagai anak sampai ia punya gelar sarjana.” Tentu ini bercanda.

Contoh lain juga dapat kita ambil dari humor gelap Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saat dirinya didesak mundur dari jabatannya, budayawan Emha Ainun Nadjib, menyambanginya di Istana Negara. Emha menuturkan, ia mendatangi presiden Indonesia keempat tersebut. Ia mengingatkan Gus Dur, “Gus, sudahlah, mundur saja. Mundur tidak akan mengurangi kemuliaan sampeyan,” kira-kira begitu kata Emha kepada Gus Dur. Lalu Gus Dur menjawab, “Aku ini maju aja susah, harus dituntun, apalagi suruh mundur.”

Sakdiyah Ma’ruf juga menulis kesamaan mendasar dan utama dari semua contoh humor gelap di atas. Menurut dia, humor gelap hanya berhak dituturkan oleh korban, penyintas, pejuang penyakit,  orang miskin, penderita depresi, penyandang disabilitas.

Mereka yang mengalami kepahitan hidup adalah satu-satunya kelompok masyarakat yang berhak menuturkan narasi humor gelap.

Dalam beberapa kasus, seseorang menceritakan humor gelap untuk membuat satir atau sinisme tentang situasi yang dikenal sebagai bentuk keburukan. Tetapi dalam praktiknya hal itu diabaikan atau bahkan dipuji. Ini adalah cara mengomunikasikan pemahaman tentang sebuah persepsi dan wawasan soal cara dunia bekerja.

Humor gelap bukanlah tentang menjadi gelap demi terlihat gelap. Sebaliknya, inti humor tersebut adalah untuk mengakui bagian-bagian masyarakat atau perilaku individu dalam menghadapi topik-topik gelap yang agak konyol, tidak masuk akal, dll.

Ini tidak hanya membuat humor gelap menjadi lebih baik, tetapi juga dibutuhkan untuk membuat lelucon yang memang baik. Komentar sosial adalah pusat dari tindakan komedian yang baik. Komedi tidak boleh dibatasi untuk membuat komentar tentang hal-hal yang mungkin membuat sebagian orang merasa tidak nyaman, bahkan bila harus membahas topik-topik ini. Masalah-masalah seperti ras, politik, disabilitas, pelecehan seksual, sangat sulit untuk didiskusikan tanpa berubah menjadi perdebatan sengit.

Komedi sebenarnya adalah pemantik yang sempurna untuk mendorong diskusi tentang masalah-masalah ini karena orang-orang lebih cenderung mendengarkan seseorang yang membuat mereka tertawa, daripada menangis.

Penulis: Gren Raina Mutiara Lestari

Jurnalistik 2018

Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Webinar Inspiratif Universitas Alma Ata: Peluang dan Tantangan Karir di Dunia UI/UX di Era Digital

Mata Indonesia, Yogyakarta - Menghadapi era digital, Universitas Alma Ata berkomitmen mendorong mahasiswanya untuk membangun karir di dunia UI/UX dengan menggelar webinar bertajuk “Membangun Karir di Dunia Desain UI/UX: Peluang dan Tantangan di Era Digital” pada Sabtu (21/12/2024).
- Advertisement -

Baca berita yang ini