Gaya Salaman Unik di Berbagai Dunia, Nomer 5 Paling Aneh

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Di Indonesia kalau bertemu dengan orang yang lebih tua cara penghormatan terbaik adalah dengan salam, yaitu mencium punggung tangan seseorang yang dianggap lebih tua atau dihormati.

Tapi pernah ngga sih kalian mencoba gaya salaman yang unik, seperti menjulurkan lidah ke orang lain? atau meludahi orang lain?

Pasti ngga pernah kan, nanti malah dicap sebagai anak yang durhaka karena tidak sopan kepada yang lebih tua. Tapi di negara lain justru salaman unik seperti itu dilakukan setiap hari sebagai sikap penghormatan atau persahabatan.

Penasaran negara mana saja yang merapkan salaman unik? Cekidot!

1. Alaska

Negara yang terkenal dengan suku Eskimo ini mempunyai salaman yang unik dan khas, yaitu dengan memadukan kedua hidung. Biasanya dilakukan kepada keluarga atau pasangan. Salaman tersebut disebut dengan Kunik.

Apabila saat kedua hidung menyatu dan salah satunya mengendus-endus, itu artinya orang tersbut sedang mengungkapkan kasih sayang atau perasaannya. Unik banget ya.

 

Salaman kunik (Foto: Instagram/@mas_scarves)

2. Maori, Selandia Baru

Hampir sama dengan salaman Kunik. Kalau di Selandia Baru disebutnya Hongi, yaitu saling mendekatkan hidung satu sama lain yang bermakna saling “berbagi napas kehidupan”. Yang membedakan, Hongi tidak mengenal dengusan sebagi bentuk menyatakan perasaan.

Salaman Hongi (Foto: Instagram/@tamarajosephine_photography)

3. Afrika

Pernah main ayam-ayaman pake jempol tangan yang ditekan salah satu jempolnya berarti dia yang menang. Kalau di Afrika justru bukan dijadikan mainan, tapi salaman. Uniknya di negara ini bersalamannya dengan menekan jempol seseorang.

Caranya, menekan jempol orang lain dengan kedua tangan. Tapi jangan terlalu kencang ya, bukannya salaman tapi malah ngejerit kesakitan.

Gaya salaman orang Afrika (Foto: Istimewa)

4. Tibet

Menjulurkan lidah sudah menjadi kebudayaan warga Tibet. Hal itu dilakukan sebagai pembuktian bahwa dirinya bukan reinkarnasi dari seorang raja. Budaya mejulurkan lidah ini sudah ada sejak abad ke-9 saat pemerintahan Lang Darma.

Jadi, kalau kalian lagi main di Tibet lalu ada yang menjulurkan lidah, jangan marah ya, dan jangan baper karena itu sudah merupakan kebudayaan mereka.

Gaya salaman orang Tibet (Foto: Istimewa)

5. Kenya dan Tanzania

Kalau kalian mencoba meludah ke orang tua pasti udah abis kena omelan. Tapi beda dengan suku Maasai di Kenya dan Tanzania. Karena meludah di sini menjadi bentuk penghormatan ke orang lain, baik tua maupun muda.

Mereka sering saling meludah untuk memberi penghormatan satu sama lain. Tapi bagi yang usia muda, harus meludahi tangannya sendiri dulu sebelum meludah ke yang lebih tua. Aneh ya, tapi itu sudah menjadi kebudayaan di sana.

Gaya salaman orang Kenya. (Foto: Istimewa)

Sekarang sudah tahu kan bagaimana cara bersalaman dengan orang lain di negara-negara tertentu, jadi kalau sewaktu-waktu lagi main di negara di atas, jangan kaget lagi dengan kabudayaan unik mereka, salah satunya bersalaman. (Anita Rahim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Dari Posko ke Huntara, Korban Banjir Sumatera Mulai Bangun Kembali Keluarga

Oleh: Nuruddin Alwi Salman (* Bencana banjir bandang atau galodo yang melanda Kota Padang dan sejumlah wilayah di Sumatra Barat bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga guncangan sosial yang mendalam bagi keluarga terdampak. Rumah yang hanyut, mata pencaharian yang terputus, hingga rutinitas keluarga yang tercerai-berai menjadi realitas pahit yang harus dihadapi para pengungsi. Namun di tengah situasi tersebut, langkah-langkah cepat pemerintah dalam fasetanggap darurat hingga transisi menuju pemulihan menunjukkan arah kebijakan yang patutdiapresiasi. Perpindahan warga dari posko darurat menuju hunian sementara (huntara) menjadi simbol penting bahwa proses membangun kembali kehidupan keluarga telahdimulai. Perlu ditegaskan bahwa penanganan bencana tidak semata soal teknis infrastruktur, melainkan juga tentang keberpihakan negara pada pemulihan martabat dan ketahanan sosialwarga. Dalam konteks inilah, rencana pembangunan 100 unit huntara yang disampaikanPresiden Prabowo Subianto dalam kunjungan keduanya ke Sumatra Barat memiliki maknastrategis. Huntara bukan sekadar bangunan sementara, melainkan ruang transisi agar keluargadapat kembali menjalani kehidupan yang lebih stabil sebelum memasuki fase rehabilitasi danrekonstruksi hunian permanen. Presiden Prabowo menegaskan bahwa dalam waktu satu bulan para pengungsi tidak perlulagi tinggal di tenda. Pernyataan ini mencerminkan orientasi kebijakan yang menempatkanaspek kemanusiaan sebagai prioritas. Pengalaman tinggal di tenda dalam jangka panjangterbukti berdampak pada kesehatan, psikologis, dan kohesi keluarga, terutama bagi anak-anakdan lansia. Karena itu, percepatan pembangunan huntara merupakan intervensi sosial yang penting untuk mencegah kerentanan baru pascabencana. Lebih jauh, komitmen Presiden untuk segera melanjutkan pembangunan hunian tetap dengankualitas yang baik menunjukkan kesinambungan kebijakan dari fase darurat menujupemulihan jangka menengah dan panjang. Dalam literatur kebijakan publik, keberhasilanpenanganan bencana sangat ditentukan oleh konsistensi negara dalam memastikan transisiantarfase berjalan mulus, tanpa jeda yang membuat warga kembali terjebak dalamketidakpastian. Kunjungan Presiden yang disertai pengecekan langsung kondisi 271 jiwa dari85 kepala keluarga pengungsi juga memperkuat pesan bahwa negara hadir tidak hanyamelalui pernyataan, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan. Dari perspektif politik kebencanaan, kehadiran langsung kepala negara di wilayah terdampakmemiliki efek simbolik dan praktis sekaligus. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menilai kunjungan Presiden Prabowo untuk kedua kalinya pascabanjir sebagai buktikeseriusan pemerintah pusat dalam mempercepat pemulihan Sumatra Barat. Penilaian inirelevan, karena kehadiran Presiden di lapangan memberi sinyal kuat kepada seluruhkementerian dan lembaga bahwa penanganan bencana adalah agenda prioritas yang harusdikawal bersama. Dalam praktik pemerintahan, sinyal politik semacam ini sering kali menjadi faktor penentu percepatan koordinasi lintas sektor. Andre juga menekankan bahwa perhatian Presiden tidak bersifat seremonial, melainkandiwujudkan melalui pengecekan progres pembangunan dan pemenuhan kebutuhan warga. Hal ini penting dicatat, karena salah satu kritik publik terhadap penanganan bencana di masa lalu adalah lemahnya pengawasan implementasi kebijakan. Dengan turun langsung kelapangan, Presiden sekaligus menjalankan fungsi kontrol untuk memastikan bahwa kebijakanyang dirancang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terdampak. Penanganan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif hak asasi manusia. DirekturKerja Sama HAM Ditjen HAM, Harniati, menegaskan bahwa penyaluran bantuan logistikkepada warga terdampak bukan sekadar sumbangan materi, melainkan wujud kehadirannegara dalam memastikan hak-hak dasar warga tetap terlindungi dalam situasi darurat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip bahwa hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, danrasa aman tidak boleh hilang hanya karena warga menjadi korban bencana alam. Dengandemikian, kebijakan huntara dan layanan dasar lainnya harus dipahami sebagai pemenuhankewajiban konstitusional negara. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor kunci keberhasilan pemulihan. Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, menyambut baik atensi Ditjen HAM danmenekankan pentingnya kolaborasi lintas level pemerintahan. Dalam konteks otonomidaerah, percepatan pemulihan pascabencana sangat bergantung pada keselarasan kebijakanpusat dan kapasitas implementasi di daerah. Langkah Pemerintah Kota Padang yang mengakselerasi penyediaan hunian layak bagi warga yang rumahnya rusak berat atau hanyutmenunjukkan adanya keseriusan di tingkat lokal untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam tindakan konkret. Dari sudut pandang sosial, perpindahan warga dari posko ke huntara memiliki dampaksignifikan terhadap pemulihan struktur keluarga. Huntara memungkinkan keluarga kembalihidup dalam satu atap, membangun rutinitas, dan memulihkan rasa normalitas yang sempathilang. Proses ini penting untuk memperkuat resiliensi sosial masyarakat pascabencana, sekaligus menjadi fondasi bagi pemulihan ekonomi dan pendidikan anak-anak yang sempatterganggu. Pemulihan pascabencana di...
- Advertisement -

Baca berita yang ini