Sering Pakai Topi Bikin Cepat Botak, Mitos atau Fakta?

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Ada pertanyaan besar yang membuat banyak pria penasaran, benarkah kebiasaan menggunakan topi akan membuat seseorang mudah mengalami kebotakan?

Nah, ternyata berdasarkan penelitian para pakar, benar kebiasaan memakai topi akan membuat pria rentan alami kebotakan. Hal ini sebenarnya menjadi masalah serius yang disebut androgenic alopecia atau pola kebotakan rambut pria yang disebabkan kerusakan tertentu.

Mengutip Huffington Post, seorang pakar bernama Dr Alan Bauman berkata kebiasaan memakai topi memicu miniaturiasasi progresif dari folikel rambut yang sensitif terhadap hormon dihydrotesterone atau DHT.

Masalah ini biasanya terjadi karena faktor turunan atau bisa dimulai sejak setelah pubertas. Folikel rambut yang sensitif mulai memproduksi rambut baru yang lebih tipis, pendek dan semakin berkurang pigmennya.

“Pada akhirnya, rambut kehilangan beberapa area tertentu yang menyebabkan penipisan pada bagian depan serta kebotakan di area ubun-ubun,” kata Bauman.

Namun, sebelumnya, anggapan penggunaan topi dapat menyebabkan kebotakan pernah dibantak oleh beberapa sumber ternama, seperti yang diterbitkan dalam Men’s Journal.

Dibanding menyalahkan penggunaan topi sebagai penyebab kebotakan, Bauman bahwa menggunakan topi ini merupakan efek samping dari kebotakan yang dialami pria.

Dia menyebut bahwa pria menggunakan topi untuk membuat diri mereka terlihat lebih muda dan mengingatkan mereka dengan penampilan yang dimiliki sebelum rambut rontok.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini