Seberapa Besar Dampak Penurunan Tarif Impor bagi Perekonomian NTT?

Baca Juga

Minews.id, Kota Kupang – Pemerintah pusat resmi menurunkan tarif impor menjadi 19 persen. Di atas kertas, langkah ini ditujukan untuk menurunkan harga bahan baku dan barang konsumsi yang berasal dari luar negeri. Namun, menurut Staf Pengajar Administrasi Bisnis Undana Kupang Ricky Ekaputra Foeh.,MM, hal ini akan memberikan dampak bagi wilayah timur Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kebijakan ini mengundang pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dan bagaimana nasib para petani, peternak, dan pelaku usaha kecil di daerah?,” ujarnya saat dihubungi minews.id, Rabu 16 Juli 2025.

Ricky lalu menjelaskan bahwa secara nasional, penurunan tarif impor memang bisa berdampak positif. Harga barang impor akan lebih murah. Industri besar yang selama ini tergantung pada bahan baku luar negeri akan diuntungkan karena biaya produksi menurun. Konsumen, terutama di kota-kota besar, akan senang karena barang konsumsi seperti elektronik, pakaian, dan makanan impor menjadi lebih terjangkau.

“Namun ada sisi lain yang tak boleh kita abaikan: persaingan yang tidak adil bagi produsen lokal. Produk lokal—baik hasil pertanian, peternakan, maupun kerajinan—berisiko tersisih dari pasar karena banjir barang impor murah. Apalagi bagi pelaku UMKM dan IKM yang daya saingnya masih terbatas,” katanya.

Sementara bagi wilayah NTT, lanjut Ricky, kebijakan ini memiliki dampak yang bersifat paradoks. Di satu sisi, penurunan tarif bisa menurunkan harga kebutuhan pokok yang selama ini mahal karena ongkos distribusi. Masyarakat mungkin bisa beli beras, gula, atau bahkan alat pertanian dengan harga lebih murah.Tetapi di sisi lain, petani jagung, peternak sapi, atau pelaku usaha kecil akan menghadapi ancaman serius. Jika daging impor atau produk pertanian asing masuk ke pasar NTT dengan harga lebih rendah, produk lokal bisa kalah saing. Padahal, sektor pertanian dan peternakan adalah tulang punggung ekonomi rumah tangga di NTT.

“Lebih jauh, karena infrastruktur industri di NTT masih minim, manfaat dari bahan baku impor yang murah justru lebih banyak dirasakan di Pulau Jawa. NTT tetap menjadi konsumen, bukan produsen. Ini bisa memperlebar ketimpangan ekonomi antarwilayah,” ujarnya.

Ricky menambahkan bahwa penurunan tarif impor sebenarnya tidak salah, tapi harus diiringi dengan kebijakan pelindung bagi wilayah seperti NTT. Pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama untuk memastikan ada perlindungan terhadap komoditas lokal, subsidi logistik bagi produk NTT, dan insentif bagi UMKM agar tetap bisa bersaing.

“Jangan sampai harga barang murah yang kita nikmati hari ini harus dibayar mahal oleh hilangnya pendapatan petani dan pelaku usaha lokal besok,” katanya.

Dirinya menilai bahwa kemunculan barang impor dikhawatirkan dapat mengancam produk lokal dan memperlebar ketimpangan antarwilayah. Maka ditawarkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah sebagai berikut:

1. Batasi atau kontrol impor komoditas yang bersaing langsung dengan produksi petani dan peternak NTT.

2. Bangun pusat distribusi dan logistik untuk mempercepat pemasaran produk lokal ke luar daerah.

3. Beri insentif bahan baku dan alat produksi untuk UMKM di NTT agar tidak kalah bersaing.

4. Dorong penguatan industri pengolahan komoditas unggulan NTT seperti jagung, kelor, kopi, dan daging sapi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Program MBG Jadi Strategi Kunci Tingkatkan IQ dan Kualitas Anak Indonesia

MataIndonesia, Jakarta - Pemerintah terus memperkuat upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG)...
- Advertisement -

Baca berita yang ini