Ini 5 Kejanggalan Cerita Horor “KKN di Desa Penari” yang Diklaim Berdasarkan Kisah Nyata, Masa Sih?

Baca Juga

MINEWS, JAKRTA – Warga net tampaknya masih trobsesi dengan cerita horor “KKN di Desa Penari”, terlebih cerita tersebut diberi embel-embel berdasarkan kisah nyata. Hingga saat ini, Jumat 30 Agustus 2019 pagi, hastag #kkndidesapenari masih menjadi trending topic di Twitter.

Dengan alasan ‘kisah nyata’ ini, penulis banyak informasi yang dirahasiakan oleh sang penulis. Termasuk, lokasi yang disebut Desa Penari itu. Banyak warga net yang menebak jika lokasi tersebut berada di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Banyuwangi.

Merujuk kepada inisial ‘B’ yang diberikan penulis, ebenarnya ada dua Kota yang menjadi tebakan warga net, yakni Bondowoso dan Banyuwangi. Namun nama Bondowoso harus dicoret karena tidak cocok dari keseluruhan cerita di bagian 1 maupun bagian 2.

Salah satu pengguna Facebook bernama Eko Bambang Visianto, menuliskan sebuah postingan yang menjelaskan pengamatannya tentang cerita horor tersebut. Ia juga mengungkapkan beberapa hal yang janggal dari beberapa fakta yang diberikan penulis.

Eko juga mengatakan jika tempat asal terjadinya “kisah nyata” ini kemungkinan besar adalah Kota Banyuwangi, yang berada di Jawa Timur yang memang lekat dengan budaya magis. Sedangkan untuk lokasi hutan yang dimaksud dalam cerita, Eko memutuskan secara sepihak bahwa hutan yang dimaksud adalah Hutan Gumitir.

“Meskipun ada banyak hutan besar dan “wingit” di Banyuwangi, diantaranya adalah hutan lereng Gunung Raung di sebelah utara dan the legendary Alas Purwo. tapi keduanya aku coret karena jika kupaksakan untuk sesuai dengan kisah KKN di Desa Penari, akan semakin banyak lagi ketidakcocokannya,” tulis Eko.

Kejanggalan pertama yang ia temukan yakni soal jarak tempuh keenam mahasiswa KKN yang diduga berasal dari Surabaya menuju Banyuwangi. Dalam cerita sebutkan bahwa mereka menempuh waktu selama 4 jam untuk sampai ke lokasi KKN. Sedangkan jika di cek di Google Maps, estimasi waktu yang ditempuh mereka bisa mencapai 6 jam.

“Elf ke dari Surabaya ke Banyuwangi selama 4 jam. Lha wong 5 jam saja baru sampai Jember dan dari sana ke Banyuwangi masih butuh 3 jam lagi bila lancar dan tak ada macet di Hutan Gumitir. Mungkinkah para mahasiswa itu juga naik Elf setan yang ngebut dan ketika terbangun tau-tau sudah sampai di tujuan?,” ungkap dia.

Kedua, soal hutan tadi, Eko mengemukakan jika bisa saja  penulis terinspirasi  oleh banyaknya – tak cuma orang tua – tapi juga ibu-ibu, remaja sampai anak kecil yang melambai-lambaikan tangan mereka di sepanjang jalan untuk meminta uang dari mobil dan kendaraan yang melintas.

“Lokasi dalam gambar itu bisa dipastikan adalah Alas (hutan) Gumitir. Itu semakin diperkuat di kisah versi Nur ketika mobil mereka dihadang oleh orang tua yang melambai-lambaikan tangan,” kata dia.

Ketiga, soal desa yang tak bisa dilalui oleh kendaraan selain motor untuk menuju kesana. Menurutnya tak masuk akal, sebab Banyuwangi itu lumbung padi Jawa Timur dan salah satu kabupaten termakmur di Indonesia.

“Hambok mustahil ada desa yang aksesnya cuma bisa dilewati oleh motor. Ya gak tau lagi kalo yang dimaksud oleh penulis dalam cerita itu adalah daerah MRAWAN (masih di Alas Gumitir) yang memang nggak dilewati mobil, tapi itu bukan karena nggak bisa, melainkan nggak boleh oleh PTPN XII selaku pemangku wilayah itu karena khawatir kendaraan roda empat bisa untuk dipakai mengangkut kayu atau hasil hutan curian,” jelasnya.

Lalu, kejanggalan yang keempat adalah budaya penduduk desa setempat yang dalam kisah itu digambarkan semua penduduknya tak memiliki kamar mandi di rumah-rumah mereka. Penduduk jika ingin mandi harus menuju SINDEN atau tempat penampungan air sebagai tempat mandi umum.

Ia juga menjelaskan bahwa Proker (program kerja) para mahasiswa KKN di desa itu nantinya adalah membuat saluran air dari sungai ke sinden-sinden yang ada di sekitar permukiman penduduk. Sedangkan, di lokasi tersebut sudah ada saluran air dari yang kecil sampai besar sisa penjajahan Belanda yang masih berfungsi sampai sekarang.

“Lalu soal SINDEN itu… sebenarnya itu bahasa Jawa dialek mana sih, kok aku agak kurang familiar? Kalo sinden penyanyi tradisional Jawa itu aku tau. tapi sinden sebagai tempat penampungan air?,” tulis Eko.

“Jika itupun memang berasal dari dari Bahasa Jawa juga agak aneh, soalnya nganu… penduduk sekitar Hutan Gumitir sejak dari Silo Sanen, Garahan, Pasar Alas, Mrawan sampai dengan Kalibaru hingga Glenmore itu mayoritas adalah etnis madura dan orang Madura tak kenal apa itu SINDEN, tapi kalo EMBUNG, pasti tau,” tulis dia lagi.

Dan yang terakhir yakni soal sosok seorang penari perempuan yang cantik seakan-akan seperti hendak menyambut kedatangan mereka. Menurutnya, sosok tersebut terinspirasi dari patung seorang penari yang ada di Banyuwangi untuk menyambut para wisatawan yang datang ke sana.

“Ini agak gimana ya. Soalnya bukan cuma Widya dan Nur, termasuk aku dan juga entah berapa juta orang dari dulu sampai sekarang yang hendak memasuki Kabupaten Banyuwangi dari arah Jember, selepas 200 meter dari terowongan kereta api pasti juga akan disambut oleh penari itu. Cantik atau nggak aku kurang tau, tapi yang jelas wujudnya perempuan. Itu memang bisa bikin kaget bagi siapapun yang pertama kali melewati daerah situ, terutama jika malam hari,” ungkapnya.

Jadi gimana gaes? Kalau menurut kalian ada lagi gak nih yang janggal dari cerita tersebut…

MENCARI KEBERADAAN DESA PENARI(tulisan ini panjang, bisa diabaikan jika tak ingin membaca)..Mumpung malam mulai…

Posted by Eko Bambang Visianto on Saturday, 24 August 2019

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Pastikan Keberlanjutan Pembangunan IKN guna Pemerataan Ekonomi yang Inklusif

Oleh: Mirza Ghulam Fanany*) Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya untuk memastikan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai bagian dari...
- Advertisement -

Baca berita yang ini