MATA INDONESIA, – Agama islam menganjurkan kita untuk berkurban. Secara syariat, kurban adalah pelaksanaan penyembelihan hewan, sapi, kambing atau sejenisnya. Kurban itu juga berarti pengorbanan. Pengorbanan yang besar.
Jika kita bicara pengorbanan berarti sesuatu yang besar dari diri kita, bukan sesuatu yang paling kecil atau sedikit. Kalau yang sedikit itu namanya sedekah, zakat, atau amal jariah lainnya. Kalau sudah bicara pengorbanan berarti sesuatu yang besar.
Pada zaman nabi kekayaan seseorang itu terukur dari banyaknya hewan piaraan. Nabi Ibrahim memiliki domba atau onta ribuan ekor. Dan tatkala perintah berkurban itu wajib atas dirinya, maka kurban terbesar dari diri Nabi Ibrahim adalah domba.
Artinya, ketika kita ingin berkurban secara syariat berarti harta yang paling besar dan berharga dari kitalah yang harus menjadi kurban. Jika kita punya uang 10 juta, berarti pengorbanan terbesar kita adalah 9 juta. Kalau kita berkurban 1 juta, itu bukan pengorbanan, tetapi sedekah.
Inilah makna berkurban secara syariat.
Lalu bagaimana pelaksanaan kurban secara hakikat? Kalau pengorbanan syariat itu mudah kita laksanakan, sementara untuk pengorbanan hakikat, masih banyak dari kita yang belum mengerti maksudnya.
Kenapa demikian? Karena ajaran yang kita pelajari selama ini hanya tentang pengorbanan hewan, bukan pengorbanan diri.
Logikanya, jika Allah memerintahkan sesuatu kepada seorang nabi pasti perintah tersebut merupakan sesuatu yang besar. Perintah berkurban adalah perintah Allah kepada nabi Ibrahim.
Kalau hanya untuk menyembelih hewan saja, Allah tidak perlu memberi tugas “sepele” itu kepada seorang nabi. Karena sebelum turunnya perintah berkurban, pada zaman sebelum Nabi Ibrahim AS sudah banyak orang yang berkurban dengan hewan sebagai upacara atau untuk pesta. Bahkan ada yang berkurban jiwa manusia. Biasanya yang korban adalah jiwa lelaki perjaka dan perawan muda.
Lalu berkurban secara hakikat itu seperti apa? Inilah yang perlu kita pahami.
Menariknya, berkurban berhubungan dengan ibadah haji. Artinya berkurban hanya ada saat ibadah haji. Kalau menyembelih hewan bisa kapan saja. Tetapi, berkurban yang bersamaan dengan ibadah haji adalah pengorbanan diri.
Allah SWT berfirman:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُـوْمُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلٰـكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْ
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
(QS. Al-Hajj 22: Ayat 37)
Kita adalah manusia spiritual. Ketika perintah berkurban itu kepada Nabi Ibrahim, maka perintah berqurban itu adalah perintah ruhani. Bukan perintah jasmani. Artinya apa? Artinya bukan perintah menyembelih hewan , tetapi sembelihlah nafsu kebinatangan yang ada pada diri kita.
Perintah berkurban itu memiliki dua tujuan. Pertama berkurban secara syariat, dan yang kedua berkurban secara hakikat.
Berkurban syariat yakni berqurban harta yang terbesar yang kita miliki. Kalau harta terbesar yang kita miliki itu mobil, ya mobillah yang harus kita kurbankan. Bukan kambing. Karena perintah berkurban itu langsung dari Allah. Bukan perintah dari pak Lurah. Jika perintah yang datang itu dari Allah, berarti itu adalah perintah besar. Perintah hebat. Kalau cuma perintah untuk menyembelih hewan qurban saja, cukup pak Lurah saja yang bicara, tidak perlu Tuhan.
Kambing pada saat zaman nabi Ibrahim adalah harta yang paling tinggi nilainya. Makanya nabi berkurban syariat dengan menggunakan kambing. Namun, nabi Ibrahim tidak hanya satu ekor kambing saja tetapi ribuan.
Nah, di zaman sekarang kambing bukan pengorbanan tertinggi lagi bagi sebagian orang. Karena harga kambing terjangkau. Cukup dengan uang 2 juta sudah dapat 1 ekor kambing. Padahal perintah berkurban disini adalah pengorbanan terbesar dari kita.
Kalau sudah menyangkut perintah Allah, jangankan seekor kambing, anak sendiri pun bila itu perintah akan di kurbankan. Inilah ketinggian ruhani seorang Nabi Ibrahim. Sampai anaknya sendiri pada saat itu akan menjadi kurban. Sesuatu yang sangat luar biasa besarnya.
Perintah penyembelihan ini oleh sebagian besar dari guru agama bahwa Nabi Ibrahim as mendapat perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya Ismail. Perintah ini berasal dari mimpi. Namun, sebenarnya dalam cerita sejarah bukan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya Nabi Ismail. Tetapi Nabi Ibrahim menyelamatkan nyawa anaknya Ismail yang akan menjadi qurban kaum jahiliyah. Kelompok kafir yang hidup di Mekkah saat itu ingin mengorbankan Ismail dengan cara menyembelihnya. Nabi Ibrahim AS kemudian menukar anaknya dengan ribuan ekor kambing.
Nabi Ibrahim mendapat kabar melalui mimpi bahwa anaknya akan menjadi qurban kaum jahiliyah. Peristiwa Nabi Ibrahim ini merupakan isyarat dari Allah dan akhirnya menjadi sejarah dalam kehidupan manusia agar manusia saling peduli terhadap saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Nah, kemudian zaman terus berubah.
Kebutuhan terus bertambah. Teknologi semakin maju. Lalu kenapa jiwa spiritual tidak ikut maju? Kenapa cara berpikir kita masih yang lama?
Harusnya semakin berkembang zaman, maka pikiran kita semakin cerdas menyikapi kehidupan. Jangan terpaku pada syariat kuno. Karena Rasulullah SAW mengatakan: “bahwa masalah dunia kitalah yang lebih tahu.” Dan “hari ini harus lebih baik dari kemarin.”
Hidup kita bukan seperti hidup di zaman nabi Ibrahim lagi. Kita hidup di zaman yang terus berubah. Kita harus cerdas dalam menyikapi kehidupan. Berkurban dengan menyembelih seekor kambing sudah tidak zaman lagi. Kita harus berani membuat perencanaan “kurban” tersebut agar lebih memberi manfaat dan tepat sasaran, tidak hanya sekedar untuk makanan.
Harusnya kambing hasil dari orang-orang yang berkurban itu jadi peliharaan. Yang memelihara para pengangguran dan orang-orang miskin di tempat kita. Atau kambing itu terjual. Lalu uangnya untuk modal membangun industri kecil, guna menampung pengangguran yang belum mendapatkan pekerjaan.
Kita harus ingat bahwa Allah sendiri mengatakan: “bahwa darah dan daging itu tidak sampai kepada-Ku, kecuali ketaqwaanmu.” Firman Allah inilah yang perlu di cermati.
Apa tujuan sebenarnya berkurban itu?
Apakah hanya untuk makan daging kambing saja? Memangnya kita belum pernah makan daging kambing?
Di zaman para nabi, sembelih kambing bisa setiap hari. Kita pun bisa makan daging kambing tiap saat. Tetapi, perintah berkurban itu terasa begitu wajib.
Berarti ada sesuatu yang lebih utama dari sekedar menyembelih hewan.
Perhatikan lingkungan kita. Siapa yang harus perlu ada pembenahan dalam hidupnya. Apakah di tempat kita, saudara-saudara kita sudah hidup mapan? memberi daging kambing kesulitan hidup mereka bisa dibenahi?
Pikirkanlah!
Selanjutnya. Berkurban secara hakikat adalah berkurban ruhani. Tadi sudah ada penjelasan bahwa hakikat berkurban adalah menyembelih nafsu kebinatangan yang ada pada diri kita. Sifat-sifat seperti binatang yang ada pada diri kita inilah yang perlu kita singkirkan. Karena hakikat manusia itu dari leher ke atas. Leher ke bawah sama dengan binatang. Bila kita masih mengurusi isi perut, berarti sama dengan binatang.
Berkurban identik dengan ibadah haji. Kalau menyembelih hewan bisa kapan saja. Tetapi berkurban hanya di saat ibadah haji saja, tentunya ada sesuatu yang luar biasa.
Haji adalah panggilan suci untuk berkunjung ke rumah Allah. Bila kita bertamu ke rumah seseorang pastilah kita mengenakan pakaian yang rapi dan bersih. Apa lagi bertamu ke “rumahnya” Allah. Tentunya harus rapi dan bersih pula. Baik bersih lahir maupun bersih batinnya.
Agar ruhani kita bersih, maka kita diperintahkan untuk berkurban dahulu. Kurbankanlah sifat kebinatangan yang ada pada diri kita. Kalau sifat kebinatangan yang ada pada diri kita sudah kita kurbankan, ruhani kita sudah bersih, maka kita akan menjadi tamu-Nya. Inilah yang disebut haji mabrur. Haji yang telah sampai bertemu dengan yang punya rumah.
Berikut ini adalah hadis nabi kutipan dari Ibnu Rajab:
ومن لم يقدر علی ذب هدي بمنی
Siapa yang tak dapat menyembelih kurbannya di Mina
فليذبح هواه ليبلغ به المنی
Hendaklah ia menyembelih hawa nafsunya agar tercapai munaa (cita-citanya).
Artinya: bahwa yang disembelih itu bukan binatang, tetapi nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri inilah yang perlu disembelih. Menyembelih hewan qurban itu hanya sebatas ritual. Tetapi, menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri adalah kewajiban.
Ketika kita sudah berkurban secara syariat maupun hakikat, maka sempurnalah kurban kita. Yang perlu kita lakukan saat ini adalah aplikasi dari makna berkurban. Bukan pelaksanaan ritual kurban dengan memotong hewan. Karena memotong hewan untuk kurban tidak membawa manfaat apapun.
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
(QS. Al-Hajj 22: Ayat 37)
Ketika kita membaca ayat ini seharusnya kita berpikir cerdas. Jangan berpikir pasif dan monoton. Kesejahteraan umat lebih utama dari pada memberi mereka makan daging hewan.
Bahwa darah dan daging itu tidak sampai kepada Allah, ini merupakan rangkaian kata agar kita tidak terjebak pada ritualnya. Tetapi, harus mengerti maksud dan tujuannya.
Ayat ini kemudian diakhiri dengan kalimat bahwa yang sampai kepada Allah adalah “taqwa”. Taqwa berhubungan dengan amal saleh. Amal saleh maknanya adalah perbuatan yang tersambung. Tersambung kepada Allah.
Ketika kita punya uang yang cukup untuk berkurban, maka gunakanlah uang tersebut untuk kesejahteraan umat. Kita bantu orang-orang yang tidak mampu. Berdayakan orang-orang di sekitar kita. Buat lapangan pekerjaan buat mereka. Kumpulkan “domba-domba” yang miskin itu untuk kita beri mereka harapan agar mereka turut merasakan hidup layak. Kita adalah manusia spiritual. Bukan manusia yang hanya taat pada perintah agama. Bangkitkan jiwa spiritual kita untuk menjalankan tugas kita sebagai Khalifah-Nya di bumi ini.
Jangan terjebak pada pelaksanaan ritual semata. Semua harus menjadi bahan perhatian kita. Bukan untuk direnungkan saja, dan bukan untuk dipikirkan lagi, tetapi kita harus berani keluar dari doktrin dan sistem yang monoton dalam beragama.
Penulis: Setyatuhu Paramarta
Penulis Buku, Motivator