KUHP Asli Indonesia Antara Optimisme dan Pesimisme

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan optimis mengesahkan rancangan kitab undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP pada September 2019 yang akan dijuluki kitab pidana asli Indonesia serta sesuai kondisi negeri era postmodern. Namun, pesimisme banyak kalangan masih merebak dan menilai pengesahan itu masih terlalu terburu-buru.

Padahal, pembahasannya sudah dimulai sejak 24 Juni 2015 dan diperpanjang hingga 16 kali masa persidangan hingga kini.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut proses RUU KUHP sekarang sudah semakin matang. KSP pun membuat pembahasan komprehensif dengan para pakar hukum pidana ternama seperti Prof. Dr. H Muladi, Dirjen HAM Kemenkumham Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H.MA yang juga memiliki kepakaran di bidang hukum pidana, serta Prof. Dr, Eddy Omar Sharif Harriej.

Mereka sepakat revisi KUHP tersebut sudah sesuai dengan kondisi aktual dunia internasional.

Prof. Dr. H. Muladi seperti dikutip dari laman ksp, mengungkapkan empat perubahan yang signifikan dari KUHP sebelumnya yang masih merupakan warisan kolonial.

“Misalnya rumusan tindak pidana kejahatan yang tidak sesuai dengan masa kemerdekaan dihapuskan, lalu pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru nanti bukan hanya untuk perorangan tapi juga korporasi. Termasuk saksi hukum pidana yang akan diatur sesuai dengan perkembangan kriminologi,” ujar Muladi.

Sementara Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H.MA menilai RUU KUHP yang baru memperhatikan keseimbangan masyarakat dengan memisahkan tiga kelompok tindak pidana yakni dewasa, anak-anak dan korporasi.

“Kami juga mengambil perundangan yang masih berlaku di Indonesia. Hukum pidana ini berprinsip tidak merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Harkristuti.

Hal lain yang juga disampaikan dalam pertemuan tersebut bahwa RUU KUHP ini juga akan memperkuat legitimasi lembaga-lembaga yang ada

Sementara pihak-pihak yang tidak setuju dengan pengesahan RUU KUHP menjadi KUHP dalam waktu dekat tersebut antara lain politisi PKS Nasir Djamil.

Menurut dia, RUU tersebut sebenarnya sudah bisa disahkan, tetapi beberapa pasal dinilainya masih mengundang pro dan kontra.

Seperti diungkapkan pada 15 Agustus 2019, Nasir menilai beberapa poin yang masih menggantung antara lain pasal-pasal tindak pidana khusus yang dimasukkan ke dalam rancangan KUHP baru.

Menurut dia, hal tersebut dikhawatirkan berpotensi meniadakan sejumlah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, Undang-Undang KPK dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah diundangkan.

Dia menegaskan masih tersisa tujuh isu krusial yang perlu dibahas dan disepakati lebih lanjut di tingkat panitia kerja DPR dan pemerintah. Selain pasal tindak pidana khusus, ada pasal-pasal tindak pidana kesusilaan (perzinaan, kumpul kebo, pencabulan, perkosaan), penghinaan terhadap Presiden, pidana mati, hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Sementara Direktur eksekutif Indonesian Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyoroti pasal penghinaan presiden yang sebelum dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai pasal inkonstitusional.

Dia juga mengaku menemukan banyak pasal yang menyasar kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. Hal-hal seperti itu dinilainya masih belum lepas dari peninggalan kolonial.

Jadilah RUU KUHP sekarang terombang-ambing dalam kekuatan optimis dan pesimis. Harus menunggu berapa tahun lagi sehingga kita bisa menerapkan hukum kita sendiri?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

ARPI DIY Desak Kejari Sleman, Menetapkan Tersangka Dugaan Korupsi Dana Hibah Pariwisata

Mata Indonesia, Kabupaten Sleman - Puluhan masa dari Aliansi Rakyat Peduli Indonesia (ARPI) DIY, kembali mendatangi Kantor Kejaksaan negeri (Kejari) Kabupaten Sleman pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini