MATA INDONESIA, BERLIN – Jerman terguncang. Melonjaknya harga komoditas energi di pasar global membuat laju inflasi di Jerman melonjak 30 persen pada Maret 2022. Indeks harga konsumen (IHK) melompat ke 7,3 persen.
Kenaikan laju inflasi Jerman ini merupakan yang tertinggi sejak 1949 silam. Kantor Statistik Federal Jerman menyebut inflasi terjadi karena adanya lonjakan harga energi pada pasar global imbas dari pengetatan impor minyak dan gas dari Rusia.
Mengutip CNN, akibat dari pemblokiran tersebut harga komoditas energi di pasar global saat ini tembus ke angka 84 persen, naik lebih tinggi jika dibanding tahun lalu. ”Yang paling bertanggung jawab atas kenaikan harga energi yang tinggi adalah kenaikan harga gas alam yang melesat 144,8 persen pada Maret 2021,” ujar Biro Statistik Jerman.
Lonjakan harga migas di pasar global telah memberikan dampak lanjutan yang memperburuk perekonomian Jerman.
Terpantau sejak periode Februari hingga Maret 2022, harga produsen migas di Jerman naik hampir 5 persen. Kenaikan ini menyebar ke sektor lain seperti ritel, pangan, dan furnitur.
Bahkan imbas inflasi telah memaksa produsen bahan kimia asal Jerman, Henkel (HENKY) untuk menghentikan operasinya di Rusia. Hal ini karena perusahaan mengalami kesulitan membayar gaji karyawan di tengah mandeknya produksi pabriknya karena kehabisan pasokan bahan baku.
Meski sebelum adanya invasi Rusia, harga migas global sudah lebih dulu naik. Munculnya sanksi embargo Barat dan AS terhadap Putin telah membuat Rusia makin mengetatkan ekspor migasnya ke pasar global.
Hal inilah yang memicu lonjakan harga migas yang makin drastis di pasar dunia.
Inflasi yang terus menurus naik membuat Menteri ekonomi Jerman khawatir jika negaranya akan berubah menjadi negara paling miskin di Eropa.
Cepatnya laju inflasi yang terjadi di Jerman sebenarnya bisa setop jika Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga. Namun sayangnya cara tersebut tak terjadi. Alasannya menjaga prospek ekonomi Eropa.
Presiden ECB Christine Lagarde menegaskan Bank Sentral Eropa hanya akan menaikkan biaya pinjaman setelah negara–negara di kawasan ini berhasil mengurangi pembelian obligasi pada kuartal ketiga tahun 2022.