Sempat Gagal, Tahun ini Panen Serentak Tiga Kawasan Food Estate

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Program food estate saat ini terus berjalan dan berproduksi.

Program food estate berjalan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sempat bermasalah karena realokasi anggaran akibat pandemi Covid-19 di 2020 dan 2021. Pembangunan area pertanian terpadu itu kini telah membuahkan kawasan sawah dan kebun produktif seluas 30.000 ha  di Kalimantan Tengah, 5.000 ha di Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur (NTT), dan 215 ha lainnya di Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatra Utara.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menyampaikan perkembangan Food Estate ini di depan forum rapat kerja di Komisi IV DPR-RI di Gedung Nusantara 3, Senayan. Mentan memastikan, produksi bahan pangan pada seluruh areal dan rekayasa teknik telah mengerek tingkat kesesuaian tanaman pertanian dengan lingkungan alam setempat.

Rekayasa dengan menata bentang alam yang ada agar praktek budi daya pertanian bisa lebih optimal. Terutama dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, utamanya air. Di Kalteng, sumber air melimpah. Maka pembangunannya adalah irigasi yang juga berfungsi untuk saluran drainase agar keasaman tanah berkurang. Pembangunan jalan-jalan juga agar akses traktor dan mesin pertanian yang lain mudah.

Hasilnya, menurut Mentan Yasin Limpo, dari 30 ribu ha sawah yang praktek budi dayanya mendapat pengawasan Kementan, tingkat keberhasilannya hampir 100 persen. Produktivitas sawah di area food estate bisa mendekati potensi maksimumnya. Potensi lahan di tanah endapan (aluvial) dataran rendah Kalteng itu memang tak setinggi sawah di tanah mineral, seperti di Jawa.

‘’Kami tidak merasa gagal. Karena produktivitas yang biasanya 3,2 ton menjadi 4 ton per hektarenya. Sedangkan dari 30 ribu hektare yang gagal tak lebih dari 200 hektare. Pun jika gagal 1.000 itu masih wajar,” ujar Mentan Syahrul Limpo.

Ia menjelaskan pula, food estate di dua kabupaten di Kalteng ini akan terus meluas. Sehingga bisa mencapai 60 ribu ha pada 2024. Khusus 2022, ada target tambahan 22 ribu hektare. Sebagian sawah di  food estate Kalteng ini bahkan mulai budidaya sejak 2020.

Program food estate itu di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang itu di atas lahan telantar milik negara dan lahan yang tersedia di atas 150 ribu hektare. Sebagian berupa tanah gambut. Food estate yang ada saat ini berkembang atas aluvial hasil erosi selama ribuan tahun dari hulu-hulu sungai.

Pada food esate di Sumba Tengah, Mentan mengatakan, secara keseluruhan bisa berjalan, berhasil panen. Target pembukaan lahan 5.000 hektare dengan infrastruktur jalan, kolam retensi mungil, dan irigas sederhana telah tercapai. Uji coba penanaman sejak musim hujan 2020/2021, namun penanaman serentak di seluruh area baru pada musim hujan 2021/2022.

Dari 5.000 ha itu, sekitar 3.000 ha untuk sawah tadah hujan dan 2.000 ha untuk ladang jagung. Tak semua memberikan hasil. ‘’Terdapat 400 sampai 500 hektare yang panenan jagungnya tidak sempurna atau cacat. Tapi hal ini merupakan hal yang wajar. Karena masih pertama kali tanam dan masih ada sedikit masalah pada penyaluran air,’’ ujar Mentan.

Untuk areal food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatra Utara, Mentan mengakui, dari target 1.000 hektare baru terealisasi 215 ha. Ada persoalan soal hak penguasaan di atas tanah adat itu. Dari area yang ada, pemerintah telah memberikan bantuan berupa akses jalan dan penataan lahan. Tanah-tanah berlereng di sisi perbukitan itu telah ratak. Juga ada terasering. Selain menahan erosi, terasering membuat traktor mudah beroperasi.

Sumber air tidak terlalu bermasalah. Di kawasan perbukitan dataran tinggi, di sisi barat daya Danau Toba itu, hujan turun 8–9 bulan dalam setahun. Cocok untuk budi daya hortikultura. Bisa tiga kali masa tanam di sana dengan merotasi sejumlah sayuran.

“Produksi cukup berhasil, seperti tanaman bawang putih, bawang merah dan kentang. Offtaker juga sudah datang karena sudah ada jalannya. Kelompok taninya sudah punya simpanan sampai miliaran rupiah,’’ ujar Mentan.

Dari tiga wilayah food estate baru yang di Sumba yang masih menghadapi masalah pokok, yakni ketersediaan air. Embung dan kolam retensi yang sedianya dibangun 2021 tapi tertunda lantaran pandemi. Daerah Lendi Wacu dan Waimamongu punya sumber daya air yang cukup besar, dengan curah hujan rata-rata 1.750 mm/tahun dan 2027 mm/tahun (periode pengamatan 1997-2012). Tapi, hujan di atas 100 mm/bulan hanya jatuh pada 5–6 bulan per tahun, yakni November-April. Selebihnya kering.

Dengan fraksi pasir yang tinggi dan bahan organik yang relatif rendah, tanah di Sumba Tengah itu tak tergolong subur. Dengan teknik budi daya yang standar, produktivitas gabah dan jagung pipilan hanya sekitar 3 ton per hektare. Kedelai 1 ton per tahun. Jauh di bawah produktivitas di Jawa yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional. Kehadiran embung, kolam retensi, dan bendungan serta jaringan irigasi akan jadi pembeda.

Sejauh belum ada embung, bendungan, dan saluran irigasi, dua kali masa tanam di Sumba memang berisiko. Bila tanaman pangan seperti jagung atau padi harus melewati periode kritis karena kurang air, sulit diharapkan ia akan mencapai produksi yang optimal. Program embum, kolam retensi, serta bendungan dan irigasi perlu dicanangkan, tanpa harus dibatasi tahun politik 2024.

Produksi adalah kunci penting dari ketahanan pangan. Ketahanan pangan nasional itu bergantung pada ketersediaan pangan, keterjangkauan (harga), dan keamanan serta kualitasnya. Semua harus dalam kondisi terjaga. Dengan segala kekurangannya, tiga lokasi food estate itu bisa memberikan hasil panen serentak musim hujan 2021/2022 pada Februari/Maret lalu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Semua Pihak Wajib Hormati Masa Tenang Pilkada 2024

Jakarta – Masa tenang Pilkada Serentak 2024 yang merupakan tahapan krusial menjelang hari pemungutan suara, resmi dimulai. Untuk memastikan...
- Advertisement -

Baca berita yang ini