MATA INDONESIA, Bagai perjalanan fatamorgana, semakin dikejar semakin menjauh. Seperti seorang gadis dengan dua wadah yang menghiasi kanan kiri tangannya, tergopoh-gopoh mengejar rangkaian besi berjalan itu.
Lagi, angkutan kota itu enggan untuk berhenti dan mengajaknya pergi ke tempat harapan miliknya. Ini adalah kedua kalinya angkutan yang ingin dinaikinya terus berlalu. Entah enggan ataupun segan, ia hanya ingin segera pergi ke tempat harap itu. Dan untuk ketiga kalinya ia harus menunggu lagi.
Kali ini alam semesta tak memberikan dukungan padanya. Barulah beberapa menit yang lalu hujan deras turun tanpa izin ke bumi. Membuat siapa pun mencari tempat berlindung dari terpaan air yang akan membuat tubuh basah. Tak terkecuali gadis itu. Depan pertokoan menjadi pilihannya untuk meneduh. Dan yang lebih malangnya lagi, gadis itu lupa membawa pawang hujan, yaitu payung.
Satu doa yang ia panjatkan di balik air langit yang jatuh ke bumi ini adalah hujan cepat berhenti dan ia dapat segera pergi ke tempat harapannya. Seperti mengamini doanya, Sang Maha Pencipta, akhirnya hujan mereda. Angkutan kota itu pun tiba dan siap untuk dinaikinya.
Entah akan ke mana gadis itu pergi. Namun yang pasti ada perasaan gelisah, cemas dan khawatir yang menemaninya dalam perjalanan itu. Ia akan menjadi manusia paling bersalah jika ada sesuatu yang terjadi pada orang yang ia cintai. Semoga Sang Maha Pencipta mengamini doanya kembali. Ia harap itu. Perjalanan dekat yang ia tempuh, terasa begitu jauh. Waktu yang berlalu terasa begitu lambat. Hingga sampai lah ia pada tempat tujuannya. Sebuah Masjid Agung di jantung kota.
Dengan sedikit berlari gadis itu mulai menyusuri jalan basah yang penuh genangan air. Sampai dari kejauhan terlihat senyum dan lambaian orang yang sedari tadi ada di pikirannya. “Kak Rum.” Panggil anak itu. Senyuman di wajah gadis itu mengembang. Rasa khawatir yang membuncah di pikirannya pun lenyap entah ke mana. Ia lega.
Ia adalah Arumelati. Gadis belia berusia 16 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai penjual kue di dekat Masjid Agung kota Pandeglang. ‘Arum’ atau ‘rum’ panggilan sapaan yang biasa dilontarkan padanya. Arum ialah anak tunggal dari dua bersaudara. Adik perempuannya bernama Sarah yang masih berusia 9 tahun, sedang mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Sedangkan Arum sudah tidak bersekolah. Ia hanya sampai tamat MTS saja. Kedua orang tuanya sudah tiada, Ia hanya tinggal bersama adik dan neneknya yang seorang pembuat kue.
Dulu saat Arum masih bersekolah MTS, neneknya lah yang berjualan. Namun, sekarang wanita itu sudah semakin tua. Ia tidak sanggup lagi untuk berjalan keliling berjualan kue. Dan sekarang Arum lah yang harus menggantikan peran sang nenek.
Ia memutuskan tidak melanjutkan jenjang Sekolah Menengah Atasnya, dan memilih untuk berjualan kue membantu neneknya. Dalam hati terdalam Arum, ia ingin bersekolah lagi. Belajar sebagaimana teman sebayanya. Namun, ada perjuangan yang harus ia menangkan. Hidup yang harus ia bangun. Impian yang harus ia capai. Dan cita-cita yang harus ia relakan.
Orang bilang hidup adalah pilihan. Jika memang benar adanya, ia akan memilih kehidupan yang sempurna. Namun, ia tidak melupakan takdir yang tidak bisa ia sanggah. Alur hidup yang senantiasa menghinggapinya sampai kapan pun, sampai ia meninggalkan bumi.
“Maaf ya dek. Kamu jadi lama menunggu.” Ucap Arum saat dirinya tiba di tempat Sarah.
“Tidak apa-apa kak. Lagian tadi juga hujan kan?” seloroh Sarah dengan tersenyum.
Arum tersenyum “Mari kita antar pesanan kue ini ke rumah pak ustaz.” Ajak Arum sembari menenteng dua wadah yang sedari tadi ia genggam.
“Ayo.” Ucap Sarah dengan semangat.
Mereka pun beranjak pergi ke rumah pak ustaz, yang sebelumnya memesan kue untuk pengajian di rumahnya. Arum hari ini patut bersyukur, karena kue dagangannya laku keras bahkan habis tak tersisa. Dan bonusnya lagi, pak ustaz memesan kue dalam jumlah amat banyak.
Arumelati yang berarti “harum melati” nama yang disematkan padanya. Seperti bunga melati dengan warna putih bersihnya, yang dapat memberikan keharuman bagi siapa pun yang mendekatinya. Terlihat sederhana namun tampak istimewa. Begitu juga yang diharapkan pada Arum, sebagai filosofi harumnya bunga melati. Ia sederhana, dengan kebaikan yang ditebarnya. Arum rela melakukan apa pun demi adiknya. Demi neneknya. Dan demi orang tua yang sudah meninggalkan hiruk pikuk dunianya.
Senyum tidak pernah luntur dari wajahnya. Arum ingin segera kembali ke rumah dan menyampaikan bahwa kue yang dibuat neneknya habis tak tersisa. Hingga sebuah suara menginterupsinya.
“Kak rum, besok aku izin ga sekolah saja ya.” Ucap Sarah seketika menatap Arum yang lebih tingi darinya.
Arum mengernyit heran “kenapa harus izin dek. Kamu tidak ingin sekolah?” tanya Arum. Perjalanan yang mereka tempuh terhenti. Sarah adiknya menundukkan kepala.
Arum tersenyum. Ia pun ikut menundukkan kepalanya, menatap Sarah dengan tulus. Diusapnya rambut yang sedikit lengket akibat keringat.
“Hey ada apa Sarah? Kenapa wajah kamu kelihatan sedih hem?” tanya Arum
Ia tidak menjawab, hanya isakan yang terdengar darinya. Arum semakin bingung dibuatnya. Baru saja ia melihat adiknya tersenyum ceria dan sekarang ia malah menangis tersedu.
“Kenapa? Apa yang membuat adik kakak yang manis ini menangis?” seloroh Arum dengan tatapan tulus dan perkataan lembutnya.
“Sarah merasa jahat kak rum. Masa kak rum jualan kue sedangkan Sarah sekolah. Kak rum juga harusnya sekolah kan?” ucapnya sendu.
Arum tertegun. Ada rasa sesak di dadanya, saat mendengar perkataan adiknya. Ia tersenyum “Sarah, kak Rum ga papa kok kalo tidak sekolah. Kak Rum kan sudah bisa membaca, berhitung dan menulis. Jadi, kak Rum sudah pintar kan?” ucapnya menasihati.
“Sarah juga sudah bisa membaca dan menulis kak. Jadi biarin Sarah bantuin kak Rum dan nenek saja ya berjualan kue.” Pintanya lagi.
Arum menggeleng “Ingat ya Sarah, kamu adalah satu-satunya harapan kakak dan nenekmu. Kami ingin kamu sekolah tinggi. Agar kamu jadi orang yang sukses. Sarah yang menjadi apa yang kamu mau. Apa yang kamu cita-citakan. Biarkan kakak saja yang berkorban, kamu jangan. Wujudkan apa yang ingin kamu gapai.” Arum menangkup wajah anak itu. Tanpa sadar air mata telah luruh di pelupuknya.
Impian akan selalu ada pada setiap diri manusia. Apalah artinya hidup jika tidak memiliki tujuan. Entah itu tujuan duniawi maupun tujuan akhirat. Namun yang jelas manusia akan selalu berurusan dengan tanah. Hidup dari tanah, berpijak di tanah, mati pun di bawah tanah. Tapi banyak yang lupa, dan malah bersikap seperti langit. Tinggi dan menjulang.
“Kakak ngelakuin ini semua hanya untuk kamu dan keluarga kita. Jika kakak tidak bisa mewujudkan apa yang kakak cita-citakan, maka kamu harus meneruskan perjuangan kakak ini. Belajar yang rajin ya Sarah. Biarin kakak saja yang jualan.” Ucapnya lalu tersenyum. Sarah menubruk tubuh itu dan memeluknya dengan erat.
“Sarah janji Sarah bakal belajar yang rajin.” Ucap Sarah di sela pelukannya.
Arum melerai pelukan itu “Sudah ya kamu ga boleh nangis. Kita harus semangat oke.” Ucap Arum menyemangati. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan pulangnya.
Hari-hari berikutnya pun seperti itu. Arum si penjual kue, yang rela mengorbankan pendidikannya untuk mencari nafkah agar keluarganya dapat hidup dengan layak. Ia adalah pemuda masa kini yang tidak memandang apa itu gengsi dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Arum adalah pahlawan bagi adiknya. Orang yang dengan berani merelakan impiannya, agar adiknya dapat bersekolah. Agar keluarganya bisa hidup dengan layak.
Pikulan-pikulan di bahunya adalah tugasnya. Tugas yang harus ia tuntaskan dan ia selesaikan. Hidupnya adalah tantangan yang harus ia menangkan. Arum adalah definisi pejuang bagi keluarganya. Ia rela berkorban demi orang yang ia cintai. Mengorbankan waktu, tenaga dan cita-citanya. Melenceng dari apa yang ia rencana kan.
Penulis: Minawati
Instagram : @minawati011