Abaikan Sanksi AS, Iran Ekspor Bahan Bakar ke Afghanistan

Baca Juga

MATA INDONESIA, TEHERAN – Iran melanjutkan ekspor bahan bakar ke Afghanistan beberapa hari lalu menyusul permintaan dari pemerintah baru yang dikuasai Taliban. Kabar ini disampaikan oleh Serikat Pengekspor Produk Minyak, Gas dan Petrokimia Iran.

Sebagaimana diketahui, kelompok Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan pada pekan lalu ketika Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, NATO menarik pasukannya setelah perang selama 20 tahun (2001-2021).

Saat ini harga bensin di Afghanistan mencapai 900 USD per ton atau sekitar 13 juta Rupiah, karena banyak warga Afghanistan yang panik meninggalkan kota, takut akan pembalasan dan kembalinya interpretasi keras terhadap hukum Islam yang diberlakukan Taliban ketika berkuasa 20 tahun lalu.

Untuk mengatasi lonjakan harga, pemerintah Taliban pun meminta Teheran untuk membiarkan perbatasan tetap terbuka bagi para pedagang. Taliban juga mengirim pesan ke pedagang Iran dan kamar dagang Iran, yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah.

“Taliban mengirim pesan ke Iran yang mengatakan: ‘Anda dapat melanjutkan ekspor produk minyak bumi’,” kata Hamid Hosseini, anggota dewan dan juru bicara Serikat Pengekspor Produk Minyak, Gas dan Petrokimia Iran, di Teheran, melansir Reuters, Selasa, 24 Agustus 2021.

Akibat hal ini, Administrasi Kepabeanan Republik Islam Iran (IRICA), yang merupakan bagian dari pemerintah, mencabut larangan ekspor bahan bakar ke Afghanistan, yang telah berlaku sejak 6 Agustus karena kekhawatiran Iran tentang keamanan perdagangan di negara itu.

“Kekhawatiran itu telah diredakan oleh sikap Taliban,” sambungnya.

Hosseini juga mengatakan bahwa Taliban memotong tarif impor bahan bakar dari Iran dan negara-negara tetangga lainnya. Pernyataan Hosseini didukung oleh dokumen resmi yang dikeluarkan Imarah Islam Afghanistan – nama yang digunakan oleh Taliban.

Dokumen tersebut menetapkan diskon sebesar 70 persen pada tarif impor bensin, solar, dan LPG dari negara-negara tetangga ke Afghanistan, termasuk Iran.

Sebagai informasi, Teheran memiliki cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Akan tetapi, sanksi AS yang dijatuhkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump tahun 2018, telah secara signifikan mengurangi ekspor minyak Iran.

Negara yang dipimpin oleh Presiden Ebrahim Raisi itu tetap mengelola beberapa perdagangan, terutama dengan mengirimkan bahan bakar truk ke tetangga seperti Afghanistan.

Iran mengekspor sekitar 400 ribu ton bahan bakar ke negara tetangga sejak Mei 2020 hingga Mei 2021, menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh PetroView – platform penelitian dan konsultasi minyak dan gas Iran.

Aliran bahan bakar Iran sangat penting bagi Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir, menurut para pedagang dan laporan pemerintah Afghanistan.

Selain Iran, dua pemasok minyak terpenting bagi Afghanistan adalah Turkmenistan dan Uzbekistan. Masing-masing negara menyumbang senilai 257 juta USD dan 236 juta USD.

Tujuan utama bahan bakar Iran adalah provinsi timur dekat perbatasan Iran dan wilayah selatan seperti Kandahar dan Nimroz di mana Taliban memiliki pengaruh kuat bahkan sebelum desakan beberapa pekan terakhir, kata Hosseini.

“Saya pikir pemerintah baru Iran akan secara signifikan memperluas kerja sama dengan pemerintah Taliban. Iran dapat dengan mudah menggandakan perdagangannya dengan Afghanistan. Pemerintah (Ashraf) Ghani selalu berusaha membatasi kerja sama dengan Iran karena Iran berada di bawah sanksi AS,” kata Hosseini.

Afghanistan belum mengembangkan industri minyaknya sendiri. Padahal negara ini memiliki enam kilang mini yang masing-masing hanya memproduksi beberapa ribu barel per hari produk olahan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

PKL Teras Malioboro 2: Suara Ketidakadilan di Tengah Penataan Kawasan

Mata Indonesia, Yogyakarta – Sejak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Malioboro ke Teras Malioboro 2, berbagai persoalan serius mencuat ke permukaan. Kebijakan relokasi yang bertujuan memperindah Malioboro sebagai warisan budaya UNESCO justru meninggalkan jejak keresahan di kalangan pedagang. Lokasi baru yang dinilai kurang layak, fasilitas yang bermasalah, dan pendapatan yang merosot tajam menjadi potret suram perjuangan PKL di tengah upaya mempertahankan hidup.
- Advertisement -

Baca berita yang ini