Mata Indonesia, Yogyakarta – Sejak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Malioboro ke Teras Malioboro 2, berbagai persoalan serius mencuat ke permukaan. Kebijakan relokasi yang bertujuan memperindah Malioboro sebagai warisan budaya UNESCO justru meninggalkan jejak keresahan di kalangan pedagang. Lokasi baru yang dinilai kurang layak, fasilitas yang bermasalah, dan pendapatan yang merosot tajam menjadi potret suram perjuangan PKL di tengah upaya mempertahankan hidup.
Relokasi PKL dilakukan untuk menjaga estetika kawasan Malioboro. Namun, proses ini menuai kritik keras karena dianggap berlangsung sepihak tanpa melibatkan pedagang dalam pengambilan keputusan. Para PKL, yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup mereka di kawasan strategis Malioboro kini merasa terpinggirkan.
Minimnya komunikasi antara pemerintah dan pedagang semakin memperburuk situasi. Proses relokasi yang tidak transparan dan alokasi lapak yang tidak adil memicu ketegangan sosial di antara pedagang. Banyak PKL mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapatkan lapak, sementara beberapa pihak lain diduga menerima tempat dengan cara yang tidak transparan atau biasa di sebut lapak goib.
PKL menghadapi berbagai kendala di Teras Malioboro 2, mulai dari fasilitas yang tidak memadai hingga penurunan pendapatan drastis. Lapak yang sempit dan akses yang kurang strategis turut memperparah kondisi ekonomi pedagang.
“Pada relokasi pertama di Teras Malioboro 2 kemarin kami kehilangan hampir separuh pendapatan sejak pindah. Lokasinya tidak ramai, fasilitasnya pun sering bermasalah, apalagi nanti kami harus di relokasi di Baskalan dan Ketandan” ujar salah satu pedagang yang tidak ingin di sebutkan namanya (7/2/2025).
Selain itu, ketidakadilan dalam alokasi lapak menciptakan rasa tidak puas di antara para pedagang. Beberapa pedagang lama tidak mendapat tempat, sementara oknum tertentu diduga mendapatkan lapak tanpa prosedur yang jelas.
Para PKL Teras Malioboro 2 telah menyampaikan berbagai tuntutan kepada pemerintah dan DPRD DIY. Mereka meminta transparansi dalam proses relokasi, khususnya investigasi terhadap dugaan ketidakadilan alokasi lapak. PKL juga mendesak adanya jaminan ekonomi untuk mengatasi penurunan pendapatan yang signifikan, serta pelibatan mereka secara langsung dalam pengembangan kawasan wisata Yogyakarta ke depan.
“Sekarang yang terpenting bukan hanya soal estetika, tapi keadilan bagi kami juga harus diperhatikan. Kami hanya ingin hak kami dihormati,” tegas salah satu perwakilan PKL Tri Dharma.
Sebagai representasi masyarakat, DPRD DIY memiliki tanggung jawab besar untuk menyelesaikan konflik ini. DPRD telah berjanji memfasilitasi dialog antara PKL dan pemerintah. Namun, langkah ini dianggap belum cukup konsisten. Beberapa audiensi dengan PKL dilaporkan tertunda tanpa alasan yang jelas, sehingga memicu kritik atas keseriusan lembaga legislatif tersebut.
Kritik semakin tajam ketika DPRD dinilai tidak berpihak secara tegas terhadap PKL. Ketidakmampuan mereka mengawal hak-hak PKL dianggap mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Berbagai pihak menyerukan perlunya solusi yang adil dan berkelanjutan untuk menyelesaikan konflik relokasi ini. Transparansi dan partisipasi menjadi kunci utama dalam menciptakan kebijakan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Investigasi terhadap dugaan ketidakadilan dalam alokasi lapak harus segera dilakukan, disertai dengan langkah konkret untuk mendukung ekonomi PKL yang terdampak.
Selain itu, pemerintah dan DPRD DIY harus berkomitmen menjalankan dialog terbuka yang melibatkan PKL sebagai pihak utama yang terdampak. Dukungan berupa pelatihan keterampilan atau promosi khusus bagi lokasi relokasi juga diperlukan untuk meningkatkan daya tarik Teras Malioboro 2.
Relokasi seharusnya tidak hanya tentang penataan kawasan, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara estetika kota dan perlindungan ekonomi pedagang kecil. Tanpa pendekatan yang adil dan transparan, relokasi ini hanya akan menyisakan rasa ketidakpuasan yang akan merugikan salah satu pihak.
Reporter: Gerry Maulana