MATA INDONESIA , JAKARTA – Gencatan senjata yang terjadi antara Israel dan Palestina sepertinya hanya sementara saja. Konflik kedua negara ini adalah salah satu konflik paling abadi dan paling tragis di dunia, tetapi bagaimana konflik tersebut dimulai, dan apakah akan berakhir dengan perdamaian?
Akar konflik ini dimulai sejak zaman Alkitab. Tetapi dari perspektif sejarah modern, akhir 1800-an dan awal 1900-an adalah pusat dari situasi yang ada sekarang.
Awal mula konflik ini setelah wilayah Palestina lepas dari kekuasaan Turki Ottoman yang kalah perang dalam Perang Dunia I. Inggris mendapatkan banyak wilayah termasuk Palestina.
Menurut Jonathan Schneer dalam The Balfour Declaration: The Origins of the Arab-Israeli Conflict (2010), secara historis terjadi saat Kesultanan Ottoman terlibat dalam Perang Dunia I bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria.
Di sisi lain, Kesultanan Ottoman memilih masalah internal berupa nasionalisme bangsa Arab yang ingin merdeka. Situasi ini dimanfaatkan Inggris dan Prancis untuk berpihak pada nasionalisme Arab. Sehingga pada 1918 kedua negara ini menyerang Ottoman, dan mendapatkan provinsi Levantine (kini Irak utara, Israel, Lebanon, Suriah, Palestina, dan Yordania).
Sementara itu, muncul pula gerakan Zionisme sejak akhir abad ke-19 lewat organisasi Hibbat Zion. Zionisme muncul sebagai respon sentimen anti-Yahudi di Eropa.
Sentimen membuat banyak orang Yahudi di Eropa—khususnya Rusia—melarikan diri. Beberapa di antaranya memilih untuk Palestina dan ke Inggris. Migrasi ke Inggris dilakukan oleh Chaim Weizmann yang merupakan presiden organisasi Zionis sejak 1904. Ia juga kelak akan menjadi presiden pertama Israel.
Arthur Balfour pada 1917 menjabat Menteri Luar Negeri Inggris. 22 Maret 1917 ia bertemu dengan Weizmann dan menerima gagasan Zionis untuk menciptakan negeri untuk orang Yahudi di Palestina.
Alasan Balfour menerimanya karena Zionis mendukung Inggris menguasai Palestina, daripada kawasan itu harus di bawah protektorat Amerikat Serikat, Prancis, atau lembaga internasional.
Balfour didukung warga keturunan Yahudi mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan, ‘Pemerintah Yang Mulia mendukung pendirian rumah nasional untuk rakyat Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini.”
Masyarakat Palestina menolak langkah itu, tetapi sayangnya sejarah tidak menguntungkan mereka.
Menyusul kengerian Holocaust (pembantaian orang Yahudi) sehingga mengakibatkan enam juta orang Yahudi terbunuh di Eropa pada Perang Dunia II membuat dorongan untuk mendirikan negara Yahudi menjadi semakin kuat.
Pada 1947, PBB didukung Inggris memilih untuk membagi Palestina menjadi tiga bagian; satu untuk orang Yahudi, satu untuk orang Arab, dan rezim perwalian internasional di Yerusalem.
Orang-orang Arab tidak menerima kesepakatan itu, dan mengatakan bahwa PBB tidak punya hak untuk mengambil tanah mereka. Perang pun pecah.
Perang Arab-Israel pada 1948 yang berdarah membuat 700.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka–sebuah eksodus massal yang dikenal sebagai ‘Nakba‘, bahasa Arab untuk ‘malapetaka’.
Tetapi ada juga orang-orang Palestina yang tinggal di Israel, dan pada 2013, Biro Pusat Statistik Israel memperkirakan bahwa populasi Arab Israel mencapai lebih dari 1,6 juta jiwa, atau sekitar 20 persen dari populasi Israel.
Perang 1948 penting karena masih menjadi bagian sentral dari konflik yang sedang berlangsung saat ini.
Israel menguasai semua wilayah yang disengketakan kecuali Tepi Barat—bagian timur Yerusalem (yang dikuasai Yordania) dan Jalur Gaza (dikuasai Mesir).
Dan keturunan dari 700.000 orang Palestina tersebut—yang telah menghabiskan beberapa generasi tinggal di kamp-kamp pengungsi—sekarang berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa menurut UNRWA, sebuah badan PBB yang didedikasikan untuk para pengungsi Palestina.
Tuntutan utama warga Palestina dalam perundingan damai adalah “hak untuk kembali” bagi para keturunan ini ke rumah-rumah yang ditinggalkan keluarga mereka pada 1948.
Selain itu ada perang besar antara negara-negara Arab melawan Israel di 1967. Israel mengalahkan pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dalam konflik yang berlangsung hanya enam hari, dan mengakibatkan Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania.
Sejak itulah, Israel mengendalikan wilayah-wilayah ini sejak saat itu.
Wilayah tersebut dianggap oleh PBB sebagai wilayah Palestina, dan banyak negara lain menganggapnya sebagai tanah “pendudukan”, sementara Israel menganggapnya sebagai wilayah “yang disengketakan” dan ingin statusnya diselesaikan dalam negosiasi perdamaian.
Sulit Berdamai
Setelah bertahun-tahun konflik yang diwarnai kekerasan, kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada 1993. Palestina mengakui negara Israel dan Israel mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan sah rakyat Palestina. Pengakuan ini tertuang dalam Perjanjian Oslo. Kesepakatan itu juga menciptakan Otoritas Palestina yang memiliki beberapa kekuasaan pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Konflik kembali terjadi saat Ariel Sharon — Perdana Menteri Israel—mendatangi Kuil Mount di Yerusalem Timur yang dilihat oleh Palestina sebagai penegasan kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqṣā (situs tersuci ketiga Islam). Dan ini menjadi peletup intifada kedua (pemberontakan dengan kekerasan) warga Palestina kepada Israel.
Selama lima tahun berikutnya, ada sekitar 3.000 korban dari warga Palestina dan 1.000 korban Israel yang menjadi korban. Saat itu banyak warga sipil Israel tewas karena aksi bom bunuh diri.
Israel mundur dari Gaza pada pertengahan 2000-an. Hamas—sebuah faksi fundamentalis Sunni Palestina yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara—mengambil alih wilayah pesisir.
Fatah—organisasi Palestina yang lebih umum—tetap mengendalikan Otoritas Palestina yang diakui secara eksternal, yang berbasis di Tepi Barat.
Hamas menggunakan Gaza sebagai landasan untuk serangan roket atau mortir yang sesekali melintasi perbatasan, yang memperkuat pandangan publik Israel. Hal itulah yang membuat warga Yahudi Israel semakin menentang segala bentuk perjanjian dengan Palestina.
Akhirnya Gaza ditempatkan di bawah blokade militer Israel yang membatasi pasokan makanan, air, dan energi untuk 1,8 juta penduduknya.
Kondisi hidup masyarakat Palestina di Gaza menjadi sorotan dunia karena digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.
Solusi Dua Negara
Israel tetap tidak pernah menerima hak diaspora pengungsi Palestina untuk kembali ke Israel, karena hal itu pada dasarnya akan mengubah sifat Israel menjadi negara minoritas Yahudi.
PBB sempat mengusulkan solusi dua negara di wilayah Gaza sebagai satu-satunya solusi jangka panjang. Tetapi ada banyak kendala untuk itu.
Konflik makin meruncing setelah Presiden AS Donald Trump
memindahkan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv Israel ke Yerusalem. Walau AS secara resmi tidak mengambil posisi dalam pemindahan ini, namun langkah itu meningkatkan ketegangan karena dianggap mengindikasikan dukungan untuk posisi Israel di Yerusalem.
Israel pun semakin keras terhadap lokasi perbatasan yang tepat; nasib para pengungsi Palestina (entah mereka dapat memiliki hak untuk kembali atau tidak); dan masalah tentang permukiman Yahudi di wilayah Palestina—di mana hampir setengah juta warga Israel Yahudi membangun pemukiman.
Sulit Berdamai?
Sikap keras Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak perdamaian membuat rencana perdamaian sulit diwujudkan.
Meski sekarang posisinya digoyang oleh lawan-lawan politiknya, Netanyahu yang telah memenangkan lima pemilu tetap populer sebagai pemimpin Israel.
Kepopuleran Netanyahu karena ia menolak berdamai dengan Palestina sehingga permusuhan kedua bangsa ini semakin meningkat. Apalagi gelombang intifada Al Aqsa pada September 2000, usai kunjungan pemimpin oposisi Israel ke Al-Aqsa yang memicu kerusuhan.
Masih di tahun 2000-an tepatnya pada 2008, kembali terjadi intifada atau pemberontakan setelah Israel meluncurkan serangan udara dan darat ke Jalur Gaza.
Kemudian di Mei 2010, Israel memblokade seluruh jalur bantuan ke Palestina dan tentara Israel menembaki kapal bantuan Mavi Marmara.
Masih memanas sampai saat ini, Israel kembali menyerang Palestina akibat bibit konflik yang terjadi pada April 2021, setelah aparat Israel sabotase speaker masjid Al Aqsa.
Dilansir Reuters, Mei 2021 terjadi bentrokan di area komplek masjid Al-Aqsa antara jemaah Palestina dan aparat Israel hingga menyebabkan banyak korban terluka.
Di samping itu, satu hal yang turut memantik konflik yaitu sengketa di Sheikh Jarrah karena sejumlah keluarga Palestina terancam diusir oleh pemukim dari Israel.
Buntut prahara terbaru antara Israel dan Palestina ini terus berlangsung hingga menelan banyak korban tewas serta menghancurkan tempat tinggal hingga rumah sakit. Sejumlah dukungan dan kecaman dunia internasional yang menyorot konflik terbaru antara Israel Palestina terus diserukan.
Reporter : Ananda Nuraini