Warna-Warni Lebaran di Negeri Orang (2)

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Masih dalam nuansa Hari Raya Idul Fitri 1442 H atau yang juga dikenal dengan istilah Lebaran, setiap umat Muslim di dunia memiliki cara yang berbeda dalam merayakan momen kemenangan ini.

Meski demikian, semuanya memiliki tujuan yang sama, yakni saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi. Ya, momen kumpul bersama keluarga besar di hari nan fitri memang selalu dinanti dan sungkeman yang menjadi ritual yang selalu dirindukan.

Akan tetapi semuanya berubah dalam dua tahun terakhir. Umat Muslim harus puas merayakannya dalam dimensi yang berbeda, lantaran pandemi masih mengintai dunia. Meski demikian, selalu ada cara untuk merayakan momen Lebaran agar tetap terasa istimewa.

Kemudian, bagaimana umat Muslim Indonesia merayakan momen Hari Raya Lebaran di negeri orang? Mengingat setiap negara memiliki tradisi berbeda. Bagaimana pula menyikapi kerinduan akan kampung halaman? Kepada Mata Indonesia News, berikut penuturan beberapa masyarakat Indonesia yang merayakan Hari Lebaran di negeri orang.

 Warga Indonesia di Belanda Rindu Malam Takbiran

Indonesia memiliki begitu banyak tradisi pada Hari Raya Lebaran, salah satunya adalah takbiran. Sebagaimana diketahui bahwa mengumandangkan takbir menjelang Lebaran merupakan amalan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada malam Lebaran, umat muslim di Indonesia mengumandangkan takbir melalui pengeras suara di setiap masjid. Bahkan, sebelum pandemi virus corona menyerang dunia, umat Muslim Indonesia tumpah ruah ke jalan atau berkeliling kampung untuk mengumandangkan takbir.

Dan malam  takbiran inilah yang selalu dirindukan oleh Zaenal, warga Indonesia yang menetap di Belanda. Hal lain yang ia rindukan adalah tradisi pulang kampung atau mudik.

“Kangen? Tentu saja! Apalagi jika melihat suasana mudik di Indonesia. Ditambah suara takbiran, membuat perasaan kangen dan rindu keluarga di Indonesia dan Tanah Air semakin membuncah,” kata Zaenal.

“Antisipasi untuk menahan kangen? Jelas tidak ada obatnya. Hanya takbiran dan melayangkan angan ke Indonesia dan keluarga di sana membuat saya terhanyut dan merasa ada di sana,” sambung pria yang berprofesi sebagai perawat ini.

Zaenal mengungkapkan, sebelum pandemi masjid dan tokoh-tokoh di Negeri Kincir Angin itu mengadakan open house atau dalam istilah Belanda openhuis, baik saat Lebaran pertama maupun kedua. Namun, sejak pandemi semuanya ditiadakan.

“Untuk tradisi Lebaran sebelum pandemi, masjid dan para tokoh serta masyarakat umum mengadakan open house, ramai sekali. Namun sejak pandemi, sholat pun harus from home. Jadi benar-benar tidak ada kegiatan silaturahmi,” sambungnya.

“Untuk tahun ini, Alhamdulillah sudah lebih longgar. Boleh diadakan sholat namun sangat terbatas, hanya separuh dari kapasitas masjid saja. Di salah satu masjid Indonesia di Amsterdam, bahkan hanya diperbolehkan untuk 80 jamaah saja,” ucapnya.

Begitupun dengan teman-teman Indonesia yang akan mengadakan openhuis, jumlahnya masih dibatasi. Sementara untuk Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Belanda yang umumnya membuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, tahun ini hanya para staf dan undangan yang jamnya pun ditentukan, tambah Zaenal.

Wow, silaturahmi Lebaran di Singapura bisa hampir sebulan!

Seperti dikatakan sebelumnya, setiap negara memiliki tradisi unik dan berbeda dalam perayaan Hari Raya Lebaran. Di Singapura misalnya, Iera Sadat Burhani menuturkan bahwa yang unik dari Lebaran di Singapura adalah durasi yang panjang. Dalam arti, bila momen Lebaran di Indonesia hanya sampai seminggu, di Singapura bisa sampai sebulan.

Iera dan keluarga yang menetap di Singapura. (Foto: Pribadi)

“Lebaran di Indonesia mungkin paling lama seminggu ya, kalau di Singapura selama sebulan. Jadi kita harus menyiapkan amplop untuk Lebaran selama sebulan, karena tamu bisa tiba-tiba datang berkunjung,” kata Iera.

“Ini bukan tanpa sebab, selain bulan Syawal yang memang selama sebulan juga karena rata-rata warga di Singapura (suami dan istri) itu bekerja jadi mereka hanya bisa silaturahmi di waktu libur. Jadi jangan heran kalau masih di bulan Syawal melihat orang-orang yang memakai pakaian kurung lalu lalang di ruang publik,” sambungnya.

Berbicara mengenai menu masakan, selain menu khas Indonesia, menu khas lokal juga menjadi hidangan wajib di atas meja makan pada saat momen Lebaran. Usai menyantap hidangan, agenda berikutnya adalah silaturahmi ke keluarga terdekat.

“Karena di rumah ada mama yang orang lokal dan suami dengan lidah yang fanatik Indonesia, maka menunya dibuat adil. Ada menu lokal seperti ayam masak merah, sambal goreng pengantin, sate goreng, dan menu wajib Indonesia seperti opor lengkap dengan acar, gulai, dan nggak lupa lontong,” tuturnya.

Sama seperti di negara-negara lain, pandemi virus corona membuat momen Lebaran sedikit berbeda dari biasanya. Pemerintah Singapura juga menerapkan aturan berkumpul hanya terbatas untuk delapan orang.

“Sebelumnya kita bebas kumpul-kumpul di Hari Lebaran, tapi pandemi ini suasananya berbeda. Tahun ini dibatasi, hanya lebih lenient (lunak) dari sebelumnya. Kita masih bisa berkumpul, tapi tidak lebih dari delapan orang, apabila ketahuan lebih dari itu, maka bisa didenda 300 dolar Singapura per orang (sekitar 3,2 juta Rupiah),” ucapnya.

“Biasanya di Kedutaan Indonesia, lumayan dapat feel Lebaran-nya. Selain bisa bersilaturahmi sesama perantau, pihak KBRI juga mengadakan acara tertentu dan pastinya ada masakan yang rasanya autentik Indonesia. Sayangnya, selama pandemi semua hanya mimpi,” katanya.

“Dan yang paling berbeda dari Indonesia dan yang paling saya kangenin itu suasana takbiran. Karena masjid di Singapura tidak memakai loud speaker, kecuali masjid Sultan di Bugis. Jadi kita dengerin takbir dari radio atau YouTube,” ungkap Iera ketika ditanya mengenai hal apa yang paling dirindukan dari momen Lebaran di Indonesia.

Iera menambahkan, sebelum pandemi virus corona, pusat perbelanjaan di Singapura ramai mengadakan bazar, khususnya di daerah Geylang. Barang-barang yang ditawarkan pun beragam, dari mulai makanan, pakaian, hingga karpet.

“Biasanya bulan Ramadan ada bazar di mana-mana, khususnya di daerah Geylang. Semua ada di sana dan di bazar ini, kita juga bisa menemukan street food-nya Singapura. Namun, tahun ini tidak ada lagi. Mereka mengadakan bazar melalui online dan pasti feel-nya berbeda ya,” tuntas ibu empat anak ini.

Winter Sonata, Kue Kering khas Lebaran di Malaysia

Sama seperti di Uni Emirat Arab, momen Lebaran di Malaysia, khususnya wilayah Sarawak ternyata tidak seramai seperti saat momen Idul Adha.

“Selama hampir 13 tahun, di Kucing Sarawak, Malaysia Timur, tradisi Lebaran tidak terlalu ramai seperti perayaan Hari Raya Idul Adha,” kata Astrid, warga Indonesia yang bermukim di Malaysia.

Astrid dan keluarga di depan Masjid Al-Abyad, Taman Matang Jaya Kuching-Sarawak, Malaysia. (Foto: Pribadi)

Meski hanya berjarak beberapa jam dari Indonesia, tinggal di negeri orang tetaplah menyimpan kerinduan, khususnya saat momen Lebaran. Astrid menuturkan, masakan menjadi sedikit penawar kala rindu tak mampu ditunaikan.

“Jauh dari keluarga dan harus tinggal di negeri orang, pastilah menyimpan kerinduan yang teramat sangat. Alhamdulillah, teknologi sudah canggih, sehingga kita masih dapat bertatap muka meski tak secara langsung bersua,” katanya.

“Selain itu, saya juga memasak menu masakan khas Indonesia, seperti opor ayam, rendang, sambal goreng ati dan kentang, bahkan bakso dan mie ayam. Biar tetap merasa Lebaran seperti di Indonesia,” tuturnya.

Ia menuturkan bahwa menu wajib hari pertama Lebaran di tempat ia bermukim di antaranya ada lemang bambu, nasi minyak, kari ayam dan kari karing, nasi impit, ayam masak merah, ayam masak kicap, serta rendang.

Sementara suguhan manisnya ada cake lapis Sarawak dengan beragam rasa, bentuk, dan warna, mirip dengan lapis legit di Indonesia, katanya. Tak hanya itu, ada juga berbagai kue kering yang biasa dihidangkan di meja.

“Kue-kue kering khas Lebaran di sini hampir sama seperti di Indonesia, hanya berbeda nama, seperti kue kacang, tart nenas, kuih makmur dan kuih semprit. Kuih winter sonata juga ada, tetapi ini bukan drakor ya,” canda Astrid yang berprofesi sebagai pengajar.

Astrid yang bermukim di Malaysia sejak akhir tahun 2008 menambahkan bahwa Lebaran tahun ini KBRI kembali ‘menutup pintu’ untuk diaspora Indonesia di Negeri Jiran menyusul keputusan Kerajaan Malaysia yang kembali memberlakukan lockdown dan daerah Sarawak yang memberlakukan Perintah Kawalan Pergerakan Bersyarat (PKPB).

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tumbuhkan Cinta Tanah Air, Semangat Satu Darah Indonesia Dinilai Penting

Mata Indonesia, Yogyakarta - Puluhan warga DIY berkumpul di Waduk Sermo untuk menyuarakan cinta tanah air. Acara ini dibuat untuk seluruh anak rantau yang berada di DIY agar lebih cinta akan keberagaman yang ada di NKRI.
- Advertisement -

Baca berita yang ini