MATA INDONESIA, JAKARTA- Tak mudah merawat rumah yang megah dan besar di kawasan elite Jakarta. Rumah milik mantan Menteri Luar Negeri RI Achmad Soebardjo yang berada di kawasan Cikini itu akan dijual oleh Laksmi Pudjiwati Insia, anak pertamanya. Ia beserta keluarga tidak mampu untuk merawatnnya lagi karena biayanya yang begitu mahal.
Mengutip BBC, Laksmi mengatakan bahwa penjualan rumah itu sudah direncanakan dari jauh jauh hari melihat kondisi yang tidak lagi memungkinkan. “Sebelum ibu kami meninggal, dia menulis wasiat bahwa rumah ini sebaiknya dijual untuk kehidupan anak anak dan cucunya. Saya juga semakin tua, masih banyak keperluan yang harus saya pikirkan,” kata Laksmi.
Bila bicara soal sejarah, rumah itu pernah menjadi kantor pertama dari Kementrian Luar Negeri. Dimulai pada tahun 1942, ketika Achmad Soebardjo berserta istri dan anaknya menempati rumah tersebut. Laksmi yang saat itu berusia sembilan tahun melihat bagaimana ayahnya menangani urusan diplomasi. Menurutnya, rumah itu menjadi saksi dari kesibukan Achmad Soebardjo pada hari sebelum proklamasi dibacakan.
Namun semuanya sudah berlalu dan ia tidak akan pernah melupakan kenangan tersebut. Rumah itu yang dulunya ramai dikunjungi, sekarang sepi dan tidak lagi terawat. Terlihat di beberapa bagian sudah remuk dan kumuh. Saat ini kondisi sekitar dari rumah itu sudah dipenuhi oleh restoran cepat saji dan satu apartemen yang memiliki 40 lantai.
Melihat banyak sekali perjalanan bersejarah dari Achmad Soebardjo, Laksmi berinisiatif menghubungi pemerintah setempat untuk menjadikan rumah itu sebagai museum. Ia mengatakan bahwa rumah tersebut menjadi saksi perekrutan pertama pegawai dari Kementrian Luar Negeri. “Langkah diplomasi Indonesia merdeka dimulai dari rumah ini. Tugas pertama bapak Achmad Soebardjo saat itu mendapatkan pengakuan dan dukungan dari rakyat Indonesia. Tentu informasi tentang kemerdekaan Indonesia bisa diketahui oleh masyarakat bila rumah ini dijadikan musem,” kata Laksmi.
Ia tidak ingin memaksa dan memilih untuk menunggu respons dari pemerintah setempat. “Kalau pemerintah berniat menjadikan rumah ini museum atas nama ayah, kami sangat bersyukur karena masyarakat bisa mengenang dan mengetahui perjuangan bapak Achmad Soebardjo. Tapi kalau tidak, ya kami menunggu pihak swasta saja,” kata Laksmi.
Kondisi adiknya yang sedang sakit membuatnya tambah yakin bahwa menjual adalah pilihan yang tepat. Tapi apa mungkin pemerintah mau membeli dan menjadikan rumah tersebut sebagai museum?
Chandrian Attahiyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta mengatakan bahwa ada hal yang perlu dibicarakan terlebih dahulu. ”Agak susah kalau pemerintah provinsi yang membeli. Itu semua kan harus pakai APBD dan perlu persetujuan dewan, jadi perlu waktu dan kesabaran. Tapi kalau rumah itu tetap dijual dan pembelinya punya niat untuk melestarikan, tidak akan ada masalah,” kata Chandrian Attahiyat.
William Sarana Anggota Komisi A DPRD DKI ikut berkomentar. Ia mengatakan bahwa pemerintah harus 100 persen mau menerima resikonya jika ingin membeli rumah tersebut. ”Pada prinsipnya saya setuju bahwa sejarah dan budaya harus dijaga. Namun karena anggaran yang harus dialokasikan cukup besar, maka benar benar harus diperhatikan perhitungannya,” kata Wiliam.
Bila nantinya pemerintah jadi membeli, rumah itu akan beralih menjadi cagar budaya untuk kepentingan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
Reporter : R Al Redho Radja S