Kocak! Pria Ini Bangunkan Sahur ala Pamungkas, Netizen Salfok ke Suaranya

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Di bulan suci Ramadan, santap sahur menjadi kegiatan yang baiknya dilakukan sebelum berpuasa. Namun, tak jarang umat Muslim kebablasan karena rasa kantuk yang teramat sangat.

Karena itulah banyak kaum Muslim yang membantu membangunkan sahur di tempat tinggal mereka masing-masing. Tapi, bagaimana kalau cara membangunkannya berbeda dari yang lain?

Seperti yang dilakukan pria ini. Lewat akun TikTok @aldonibagus, remaja lelaki ini memiliki misi untuk membangunkan tetangganya sahur selama 30 hari.

Namun, caranya membangunkan sahur pun terbilang unik. Salah satunya menggunakan gaya ala Pamungkas dengan lagu ‘To the Bone’.

@aldonibagus

Sahur Hari ke 3?… when pamungkas said.. @hanawilianto #harike3 #sahur #ramadhan #puasa

♬ To the Bone full cover on Youtube Hana Wilianto – Hana Wilianto

“Bangun bangun sahur, when Pamungkas said, kalo makan sahur mungkin gak bisa sampe ke tulangnya, tapi kalo engga sahur, bisa-bisa belum buka tuh badan tinggal tulang, anyways, bangun makanya! Sahurr,” begitu kata Aldoni saat membangunkan sahur.

Lewat video itu, terlihat Aldoni sedang berada di sebuah masjid. Ia pun membangunkan para tetangganya untuk sahur menggunakan mickrofon masjid.

Sebelumnya, Aldoni juga melakukan hal yang sama di puasa pertama dan kedua. Remaja lelaki itu membangunkan sahur dengan gaya khas TikToker.

Selain unik, gaya membangunkan sahur ala Aldoni juga bikin netizen salah fokus. Mereka salfok dengan suaranya yang lembut dan tidak kencang seperti orang yang membangunkan sahur pada umumnya.

“Bagus ya, lemah lembut,” kata akun moonxdipity.

“Bang bisa ngegas dikit ga,” kata akun @tania.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pusaran Konflik di Pantai Sanglen Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Berangkat dari penutupan akses masuk Pantai Sanglen, Kemadang, Gunungkidul, yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dan Obelix. Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan. Mereka khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini