MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Dokter Chakri Komsakorm –yang merawat korban luka karena serangan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar, mengatakan para pengungsi layaknya korban perang. Pasalnya, para pengungsi mengalami luka akibat pecahan peluru.
Parahnya, mereka mengalami infeksi lantaran kekurangan obat. Bukan hanya itu, sang dokter juga mengungkapkan bahwa banyak para pengungsi yang kelaparan selama beberapa hari.
“Saya mendengar ada orang dengan luka lebih serius yang masih terperangkap di sisi sungai Myanmar, tidak dapat menyeberang karena luka parah mereka,” kata Dokter Chakri Komsakorm, melansir France24, Rabu, 31 Maret 2021.
Saw Lab Bray, seorang pengungsi asal Myanmar yang berusia 48 tahun itu mengalami luka akibat pecahan peluru di sekujut tubuhnya. Ia mengatakan, setidaknya enam orang terluka seperti dirinya, sementara seorang pria meninggal dunia.
“Saya mencoba melarikan diri, tetapi bom dijatuhkan begitu cepat. Saya terjatuh dengan posisi miring dan batuk darah. Saya takut karena saya tidak bisa lari, saya juga tidak bisa bergerak,” kata Saw Lab Bray.
Kelompok Karen melaporkan, sebanyak 3 ribu warga Myanmar melarikan diri dan menyebrangi sungai ke Thailand setelah serangan udara yang dilakukan oleh pasukan keamanan.
Kementerian Luar Negeri Thailand mengatakan bahwa sekitar 2,300 pengungsi telah kembali ke Myanmar dan sebanyak 550 pengungsi tetap tinggal di Negeri Gajah Putih.
Serangan udara terjadi ketika junta militer Myanmar berjuang untuk memadamkan protes nasional yang menuntut pemilihan pemerintah terpilih dan pembebasan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi beserta para pejabat senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang ditangkap pada awal Februari.
Tindakan represif pasukan keamanan Myanmar telah menyebabkan lebih dari 500 warga sipil meninggal dunia, berdasarkan laporan Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) dan memicu kemarahan internasional.
Potensi perang saudara di Myanmar bukan tak mungkin terjadi, ketika kelompok etnis bersenjata Myanmar kompak mengangkat senjata secara serentak dan bergabung dengan massa anti-kudeta.
Setidaknya tiga dari sekian banyak kelompok etnis bersenjata di Myanmar telah mengeluarkan statement bersama yang mengancam aparat keamanan akan membalaskan kematian 500 lebih warga sipil.
Ketiga kelompok etnis bersenjata itu adalah Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang, Tentara Aliansi Demokratik Kebangsaan Myanmar, dan Tentara Arakan (AA). Seorang veteran, Isaac yang kini berusia 49 tahun itu tengah mempertimbangkan untuk kembali perang.