MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Sejarawan sekaligus penulis Myanmar, Thant Myint-U dalam akun Twitter-nya menuliskan bahwa ekonomi negaranya dalam waktu dekat akan runtuh.
“Apa pun yang terjadi di Myanmar dalam beberapa bulan mendatang, ekonomi akan runtuh dan menyebabkan puluhan juta orang dalam kesulitan dan membutuhkan perlindungan segera,” tulis Thant Myint-U, melansir Reuters, Kamis, 19 Maret 2021.
Myanmar kian terisolasi dengan layanan internet yang semakin terbatas dan surat kabar swasta yang terpaksa berhenti terbit. Sebagian besar ekonomi pun porak poranda akibat gejolak politik dan pandemi virus corona.
Sejak junta militer mengambil alih kekuasaan pada awal Februari dan menahan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi beserta sejumlah anggota Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), aksi unjuk rasa di setiap penjuru negeri tak mampu dihindari.
Pembangkangan sipil, aksi pemogokan, dan berbagai protes lain membuat Myanmar terjebak dalam krisis. Ketidakjelasan dalam negeri Myanmar ini pula yang menyebabkan banyak investor asing menarik dana.
Sementara jumlah korban terus meningkat. Berdasarkan dokumentasi jumlah orang yang tewas dalam kerusuhan mencapai angka 217, namun Kelompok Aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) meyakini jumlah tersebut mungkin jauh lebih tinggi.
Negara-negara Barat mengutuk kudeta tersebut dan menyerukan diakhirinya kekerasan dan pembebasan sang peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Sementara negara-negara Asia Tenggara menawarkan bantuan untuk menemukan solusi terhadap krisis yang tengah dialami Myanmar saat ini.
Badan Pangan PBB memperingatkan pekan ini bahwa kenaikan harga makanan dan bahan bakar di seluruh penjuru Myanmar kian mempersulit kehidupan warga miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Penyelidik PBB mengumpulkan bukti penggunaan kekuatan mematikan, penangkapan dan penahanan para demonstran, pejabat partai terpilih, serta jurnalis, penyiksaan, dan sebuah praktik ilegal yang dikenal sebagai penghilangan paksa.
Mekanisme Investigasi Independen yang berbasis di Jenewa untuk Myanmar dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada September 2018 untuk mengonsolidasikan bukti kejahatan paling serius dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan di Myanmar sejak 2011.