MATA INDONESIA, JAKARTA – Malcolm Little atau yang lebih dikenal sebagai Malcolm X, adalah salah satu politikus muslim dunia paling terkenal. Di negara asalnya, Amerika Serikat, dia dianggap berbahaya lantaran menuntut otonomi khusus bagi warga kulit hitam, seperti ditulis dalam laporan khusus the New York Times pada 1 Agustus 2008.
Lahir di Kota Omaha, Negara Bagian Nebraska, Amerika, 19 Mei 1925, Malcolm menjalani masa kecil yang suram. Ayahnya, Earl Little, adalah seorang pendeta gereja baptis yang kerap menyuarakan soal ketidakadilan kaum negro.
Pada masa itu, masih berlaku politik diskriminasi antar ras (disebut segregasi) di Amerika, terutama di kawasan Selatan. Misalnya, warga kulit hitam tidak boleh naik bus bersama orang kulit putih, minum dari keran yang sama, atau makan di restoran yang sama. Penindasan ini membuat banyak orang negro berorganisasi, kebanyakan lewat institusi agama seperti gereja atau masjid.
Kegiatan Earl mulai dipantau kelompok kulit putih radikal Klux Klux Klan. Dia mengajak istri dan empat putranya, termasuk Malcolm, pindah ke Kota Lansing. Nahas, suatu pagi Earl tewas akibat tabrak lari. Banyak orang percaya dia dibunuh karena menyuarakan persamaan hak warga kulit hitam.
Saat itu Malcolm baru berusia enam tahun. Dia tumbuh menjadi anak nakal dan membenci kulit putih. Beranjak remaja, dia aktif merampok rumah orang kaya. Pada 1946, Malcolm masuk penjara karena tertangkap basah menadah jam curian.
Dalam penjara itulah nasib Malcolm berubah. Dia berkenalan dengan Reginald, pegiat Nation of Islam (NOI), sebuah kelompok radikal kulit hitam muslim. Dia tertarik pada ajaran NOI lantaran mengajarkan perlawanan pada kulit putih dan jalan hidup lurus sesuai ajaran Islam.
Perlahan Malcolm berubah sikap. Dia tidak merokok, menolak makan babi, dan akhirnya setelah bebas, dia bertemu pemimpin NOI, Elijah Muhammad. Malcolm lantas mengganti namanya menjadi Malcolm X. “Kata X menggambarkan identitas sejati saya tidak lagi diketahui, saya adalah keturunan seluruh warga Afrika tertindas, tanpa nama,” ujar dia.
Malcolm segera menjadi corong propaganda NOI di Amerika. Dia mengirim surat ke Presiden Henry Truman, mengatakan siap mendirikan negara komunis berasaskan Islam. Dia pun aktif membela anggota NOI yang dipukuli polisi Kota New York pada 1957. Seketika Biro Penyidik Federal (FBI) langsung memantau Malcolm karena sangat karismatik. Sekali bicara, ribuan warga kulit hitam, muslim dan non-muslim berkerumun dan mendengarkan takzim.
Menikahi Betty Sanders pada 1955 tidak membuat Malcolm lunak. Ia malah bersikap sangat keras dan kerap berpidato di televisi. Presiden John F. Kennedy yang baru terpilih sampai melobi Malcolm agar masuk Kongres, dengan tujuan mencegah pergerakannya di NOI untuk tidak menciptakan makar.
Malcolm X pun menjadi politikus internasional. Dia berkawan akrab dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan Pemimpin Kuba Fidel Castro.
Pada 1964, dia berangkat haji. Di sana, Malcolm mendalami Islam aliran Sunni sekaligus mengganti namanya menjadi Al Hajj Malik El-Shabazz. Dia mengaku selama di NOI cara beragamanya ternyata keliru. Dia mengira Islam hanya alat untuk kemerdekaan kulit hitam.
Ketenarannya ternyata berbutunt panjang. Elijah sebagai pemimpin NOI merasa tersaingi. Perseteruan keduanya kerap terjadi. Malcolm X akhirnya memutuskan keluar dengan alasan organisasi radikal ini lebih mementingkan persoalan ras daripada syiar agama Islam. Dia pun akhirnya bersedia bekerja sama dengan pegiat persamaan kulit hitam moderat, seperti Pendeta Martin Luther King Jr.
Mendirikan Muslim Mosque, Inc.
Malcolm pun rutin menjadi pembicara di kampus-kampus dan kelompok-kelompok politik hingga dirinya menjadi favorit media untuk diberitakan. Ketenarannya membuat Elijah marah, ditambah lagi Elijah takut jika Malcolm memutuskan untuk membeberkan perselingkuhannya Elijah dengan seorang sekretaris wanita, dimana tindakan ini sangat bertentangan dengan ajaran NOI.
Alhasil NOI melancarkan ancaman kematian terhadap Malcolm, bahkan Elijah mengatakan orang-orang munafik seperti Malcolm harus dipenggal kepalanya. Dilansir dari The New York Times, 21 Februari 1965, tepatnya ketika Malcolm sedang berbicara di sebuah acara yang digelar di Audubon Ballroom, Manhattan.
Jasa-jasa Malcolm dalam menaikkan derajat orang berkulit hitam dan penyebaran agama Islam patutlah dihargai. Kisah hidupnya berulangkali difilmkan. Salah satunya, film Malcolm X pada tahun 1992 yang bersumber dari buku Otobiografi Malcolm X pada tahun 1963.
Pada 7 Februari 2020 Netflix juga merilis film dokumenter Who’s Killed Malcolm X? Dilansir dari Delconewsnetwork, tanggal kelahiran Malcolm, 19 Mei dinobatkan menjadi Malcolm X Day sejak tahun 1971 di Washington DC.
Tak hanya itu, pada tahun 1998, Majalah Time pun menobatkan bahwa buku Otobiografi Malcolm X sebagai salah satu buku non-fiksi paling berpengaruh di abad ke-20.
Dilansir dari Rollingstone, karakter Erik Killmonger di film Black Panther dan Screenrant serta karakter Magneto di film X-Men merupakan karakter yang terinspirasi dari Malcolm X.
Bahkan rumah masa kecil Malcolm X di Omaha, Nebraska dijadikan sebagai situs bersejarah dan terdapat banyak nama jalan yang menggunakan nama Malcolm X.
Pada Oktober 2018, pemerintah kota Ankara di Turki mengganti nama jalan di mana kedutaan AS berdiri menjadi Jalan Malcolm X Avenue. Lalu, nama jalan Lenox Avenue juga diganti menjadi Malcolm X Boulevard.
Selain itu, nama Malcolm X juga diabadikan menjadi nama kota di California, yaitu Malcolm X Square. Kemudian juga menjadi nama-nama sekolah di Amerika, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Tempat Malcolm dibunuh pun, tepatnya di Audubon Ballroom dijadikan pusat pendidikan yang berisi dokumen-dokumen bersejarah dari Malcolm, di Manhattan, New York.
Reporter: Indah Utami