Mitos Hewan Pembawa Kematian dan Malapetaka

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kucing hitam kerap kali diasosiasikan dengan ilmu sihir, kematian, malapetaka, kesialan, dan hal-hal berbau gaib. Hal ini sering terlihat dalam sebuah film horror, baik garapan dalam maupun luar negeri.

Akan tetapi, kucing hitam hanyalah salah satu contoh dari binatang yang dijadikan mitos. Terdapat beberapa bintang lain yang dijadikan mitos, di antaranya: burung gagak, cicak, dan tokek.

Mitos mengenai kucing hitam yang biasa didengar adalah ketika kucing hitam melangkahi tubuh mayat, maka mayat itu akan hidup kembali dan dikuasai oleh roh jahat yang dibawa oleh kucing hitam tersebut.

Mitos tentang kucing hitam ini bermula sejak zaman Babilona Kuno. Pada masa itu masyarakat Babilona Kuno membuat ritual dengan cara membakar kucing hitam bersamaan dengan sesaji lainnya.

Alasan mengapa masyarakat Babilona Kuno sangat kejam kepada kucing hitam karena pada suatu hari ada salah satu masyarakat melihat kucing hitam tidur di tengah-tengah ular. Dan mereka beranggapan bahwa kucing hitam adalah lambang kejahatan yang sama dengan ular.

Mitos berikutnya adalah burung gagak. Gagak merupakan spesies anggota burung pengicau (Passeriformes) yang termasuk dalam marga Corvus, suku Corvidae.

Awamnya, burung gagak dikenal sebagai penanda kematian. Ketika ia sedang singgah di suatu tempat yang tidak pernah didatangi oleh spesies lain, maka kedatangannya adalah pertanda kematian penduduk sekitar. Namun, hal ini hanya berlaku satu jenis burung saja yaitu gagak hitam atau putih.

Mitos tentang cicak sudah tak asing di telinga masyarakat. Salah satunya ialah ketika kita kejatuhan cicak. Maknanya bisa buruk ataupun baik.

Kejatuhan cicak di kepala mitosnya ialah keluarga kita akan meninggal dunia, mengalami kecelakaan atau musibah.

Hal baiknya ialah kejatuhan cicak di bagian tangan. Hal ini dipercaya bahwa akan mendapatkan pekerjaan baru, keuangan lebih lancar, bahkan mendapatkan apresiasi oleh orang sekitar tentang pekerjan yang kita tekuni.

Yang terakhir adalah tokek. Hewan ini sama seperti cicak, hanya saja bertubuh lebih besar dan juga mempunyai berbagai macam warna dan corak di tubuhnya.

Yang menjadi mitos dari tokek adalah suaranya. Banyak pertanda dari suara tokek, yakni hadirnya makhluk halus, penolak bala, juga pembawa keberuntungan.

Tokek yang biasa kita lihat adalah tokek Jepang dan tokek rumah. Tokek merupakan jenis hewan yang aktif di malam hari, maka dari itu kita sering mendengar suara tokek di tengah malam.

Suara tokek dipercaya masyarakat sebagai pertanda hadirnya makhluk halus. Disarankan jika kita mendengar suara tokek di malam hari, segera membaca ayat kursi agar dijauhi oleh gangguan iblis. Jika suara tokek jauh, artinya makhluk halus berada di dekat kita, dan sebaliknya.

Itulah beberapa macam mitos hewan yang dipercayai masyarakat di Indonesia. Entah benar adanya, wallahu’alam. Kita sebagai umat yang beragama tentunya tidak terlalu membenarkan adanya mitos. Hanya saja perlu banyak cari tahu tentang asal mula terjadinya mitos tersebut.

 

Reporter: Heni Anggraeni

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Dari Posko ke Huntara, Korban Banjir Sumatera Mulai Bangun Kembali Keluarga

Oleh: Nuruddin Alwi Salman (* Bencana banjir bandang atau galodo yang melanda Kota Padang dan sejumlah wilayah di Sumatra Barat bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga guncangan sosial yang mendalam bagi keluarga terdampak. Rumah yang hanyut, mata pencaharian yang terputus, hingga rutinitas keluarga yang tercerai-berai menjadi realitas pahit yang harus dihadapi para pengungsi. Namun di tengah situasi tersebut, langkah-langkah cepat pemerintah dalam fasetanggap darurat hingga transisi menuju pemulihan menunjukkan arah kebijakan yang patutdiapresiasi. Perpindahan warga dari posko darurat menuju hunian sementara (huntara) menjadi simbol penting bahwa proses membangun kembali kehidupan keluarga telahdimulai. Perlu ditegaskan bahwa penanganan bencana tidak semata soal teknis infrastruktur, melainkan juga tentang keberpihakan negara pada pemulihan martabat dan ketahanan sosialwarga. Dalam konteks inilah, rencana pembangunan 100 unit huntara yang disampaikanPresiden Prabowo Subianto dalam kunjungan keduanya ke Sumatra Barat memiliki maknastrategis. Huntara bukan sekadar bangunan sementara, melainkan ruang transisi agar keluargadapat kembali menjalani kehidupan yang lebih stabil sebelum memasuki fase rehabilitasi danrekonstruksi hunian permanen. Presiden Prabowo menegaskan bahwa dalam waktu satu bulan para pengungsi tidak perlulagi tinggal di tenda. Pernyataan ini mencerminkan orientasi kebijakan yang menempatkanaspek kemanusiaan sebagai prioritas. Pengalaman tinggal di tenda dalam jangka panjangterbukti berdampak pada kesehatan, psikologis, dan kohesi keluarga, terutama bagi anak-anakdan lansia. Karena itu, percepatan pembangunan huntara merupakan intervensi sosial yang penting untuk mencegah kerentanan baru pascabencana. Lebih jauh, komitmen Presiden untuk segera melanjutkan pembangunan hunian tetap dengankualitas yang baik menunjukkan kesinambungan kebijakan dari fase darurat menujupemulihan jangka menengah dan panjang. Dalam literatur kebijakan publik, keberhasilanpenanganan bencana sangat ditentukan oleh konsistensi negara dalam memastikan transisiantarfase berjalan mulus, tanpa jeda yang membuat warga kembali terjebak dalamketidakpastian. Kunjungan Presiden yang disertai pengecekan langsung kondisi 271 jiwa dari85 kepala keluarga pengungsi juga memperkuat pesan bahwa negara hadir tidak hanyamelalui pernyataan, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan. Dari perspektif politik kebencanaan, kehadiran langsung kepala negara di wilayah terdampakmemiliki efek simbolik dan praktis sekaligus. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menilai kunjungan Presiden Prabowo untuk kedua kalinya pascabanjir sebagai buktikeseriusan pemerintah pusat dalam mempercepat pemulihan Sumatra Barat. Penilaian inirelevan, karena kehadiran Presiden di lapangan memberi sinyal kuat kepada seluruhkementerian dan lembaga bahwa penanganan bencana adalah agenda prioritas yang harusdikawal bersama. Dalam praktik pemerintahan, sinyal politik semacam ini sering kali menjadi faktor penentu percepatan koordinasi lintas sektor. Andre juga menekankan bahwa perhatian Presiden tidak bersifat seremonial, melainkandiwujudkan melalui pengecekan progres pembangunan dan pemenuhan kebutuhan warga. Hal ini penting dicatat, karena salah satu kritik publik terhadap penanganan bencana di masa lalu adalah lemahnya pengawasan implementasi kebijakan. Dengan turun langsung kelapangan, Presiden sekaligus menjalankan fungsi kontrol untuk memastikan bahwa kebijakanyang dirancang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terdampak. Penanganan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif hak asasi manusia. DirekturKerja Sama HAM Ditjen HAM, Harniati, menegaskan bahwa penyaluran bantuan logistikkepada warga terdampak bukan sekadar sumbangan materi, melainkan wujud kehadirannegara dalam memastikan hak-hak dasar warga tetap terlindungi dalam situasi darurat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip bahwa hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, danrasa aman tidak boleh hilang hanya karena warga menjadi korban bencana alam. Dengandemikian, kebijakan huntara dan layanan dasar lainnya harus dipahami sebagai pemenuhankewajiban konstitusional negara. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor kunci keberhasilan pemulihan. Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, menyambut baik atensi Ditjen HAM danmenekankan pentingnya kolaborasi lintas level pemerintahan. Dalam konteks otonomidaerah, percepatan pemulihan pascabencana sangat bergantung pada keselarasan kebijakanpusat dan kapasitas implementasi di daerah. Langkah Pemerintah Kota Padang yang mengakselerasi penyediaan hunian layak bagi warga yang rumahnya rusak berat atau hanyutmenunjukkan adanya keseriusan di tingkat lokal untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam tindakan konkret. Dari sudut pandang sosial, perpindahan warga dari posko ke huntara memiliki dampaksignifikan terhadap pemulihan struktur keluarga. Huntara memungkinkan keluarga kembalihidup dalam satu atap, membangun rutinitas, dan memulihkan rasa normalitas yang sempathilang. Proses ini penting untuk memperkuat resiliensi sosial masyarakat pascabencana, sekaligus menjadi fondasi bagi pemulihan ekonomi dan pendidikan anak-anak yang sempatterganggu. Pemulihan pascabencana di...
- Advertisement -

Baca berita yang ini