MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang meragukan lagu Bengawan Solo. Lagu ciptaan almarhum Gesang Martohartono pada tahun 1940 ini tidak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga ke berbagai negara seperti Jepang, Cina. Bahkan beberapa negara Eropa.
Bahkan untuk menghormati nama Gesang, Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Taman tersebut dananya berasal dari sebuah lembaga musik di Jepang.
Bengawan Solo adalah lagu kroncong yang memang luar biasa populer di masanya. Namun sekarang ini, sayangnya musik keroncong kurang ada peminatnya.
Seperti pop, jazz, rock, musik kroncong memang bukan asli musik Indonesia. Musik ini adalah salah satu genre musik yang lahir karena persilangan budaya Barat dan Timur.
Mengutip Indonesia.go.id, Lutgard Mutsaers seorang jurnalis sekaligus peneliti musik populer dari Tilburg, Belanda, menulis tentang proses yang berkembang di awal kemunculan musik unik yang kemudian terkenal sebagai Kroncong atau Keroncong.
Tulisan itu berjudul Barat Ketemu Timur; Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History. Tulisan ini adalah salah satu dari beberapa tulisan dalam buku Recollecting Resonances yang terbit oleh KITLV, Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia, pada 2014.
Musik Kroncong, dalam kacamata jurnalis perempuan kelahiran 1958 ini, adalah simbol hubungan yang sangat intim antara Indonesia dan Belanda. Kroncong sangat unik, karena penampilannya berbeda dengan musik popular lain yang berkembang di Indonesia.
Walaupun akar musiknya bukan berasal dari Belanda atau dari Indonesia, sejarah mencatat bahwa Indonesia atau Nusantara yang pada saat itu berada di bawah Kerajaan Belanda adalah tempat berpadunya estetika Eropa dengan Asia.
Awal abad 20 adalah mula kepopuleran musik Kroncong. Musik ini berkembang sebelum ada industri rekaman. Pentas-pentas Kroncong menarik perhatian berbagai kalangan sosial yang mampu membeli tiket pertunjukan nya. Kepopuleran nya berkembang sebelum radio, dan piringan hitam menghadirkannya secara komersial.
Bagi orang Belanda, Kroncong adalah musik yang tumbuh dari tanah Hindia Belanda yang mereka cintai. Musik ini menjadi miniatur kenangan yang melintasi jarak sejarah dan geografi.
Saat koran-koran kolonial menulis tentang musik ini, belum ada yang menyebutnya Kroncong. Hanya sebutannya dalam berbagai artikel tentang tradisi musik rakyat yang berbeda dari lainnya. Tradisi ini ada di salah satu pojok Batavia. Namanya Kampung Tugu.
Musik ini adalah kegemaran orang peranakan Indo-Eropa kelas bawah. Para Sinyo dan Nona menggemari musik yang iringannya dari berbagai bentuk gitar dari yang besar hingga kecil. Melodinya biasanya menggunakan seruling dan piul. Perkusinya sering memakai rebana. Di masa 30-an, kota-kota besar di Hindia Belanda telah banyak mementaskan musik ini bersanding dengan aransemen teater hibrida ala Stamboel.
Musik asal Kampung Tugu ini kabarnya adalah bawaan orang-orang Mestizos ke tanah Betawi sejak 1661. Meztizos adalah keturunan pelaut-pelaut Portugis yang menikah dengan penduduk lokal yang menjadi koloni mereka. Jika mencari asal muasalnya kaum Mestizos berasal dari Afrika Timur, Pantai Malabar, Sri Langka, Malaka, Banda, Ambon, hingga Flores Atambua.
Orang-orang Mestizos di Kampung Tugu juga terkenal dengan nama Kaum Mardijkers. Saat Malaka jatuh ke Belanda, Mestizos yang ada di sana sebagian menjadi budak. Sebagian lagi mengungsi ke Batavia. Karena kemampuannya dalam membantu administrasi Belanda di Batavia, orang-orang Mestizos ini bebas dari status budak.
Konon, Gereja Katolik lah yang meminta kepada Hindia Belanda untuk membebaskan mereka. Sejak itu mereka berjuluk The Mardijkers yang artinya orang-orang yang bebas. Dari istilah inilah kata merdeka berasal. Tetapi sebagai bayaran kebebasan, orang-orang yang semula beragama Katolik itu harus beralih ke protestan yang menjadi agama resmi Kerajaan Belanda.
Awal Mula Kroncong
Keberadaan para Mardijkers di Kampung Tugu telah melewati ratusan tahun. Posisinya sebagai minoritas di daerah pinggiran Batavia telah membentuk tradisi musik khas yang bisa mengingatkan asal moyang mereka.
Kreasi orang-orang Tugu telah menciptakan tiga jenis gitar. Yang besar dinamakan Jitera, yang sedang bernama Prunga, yang kecil bernama Macina. Saat dimainkan mereka berbunyi “krong-krong” dan “crong-crong”. Dari bunyi inilah nama Kroncong berasal.
Pada tahun 1930, musik Indonesia berkembang dengan berbagai ragam, mulai dari semi klasik,klasik dari orkestra. Penggemar musik-musik tersebut hanyalah orang Belanda.
Mengutip kampungnesia.com, sebuah perkumpulan Orkes Kroncong (OK) bernama orkes keroncong Monte Carlo, terkenal karena kebaruan akan irama lagu. Salah satu karya orkes ini adalah Kroncong Rumba. Selain itu, ada Orkes Kroncong lain yang bernama MARKO, singkatan dari Marsudi Agawe Rukun Kesenian lan Olahraga, yang turut meramaikan kancah musik saat itu. Dan penyanyi yang terkenal dari OK MARKO, yaitu Gesang. Nama Gesang cukup terkenal karena ia ikut serta juga dalam orkes Kroncong Kembang Kacang, di tahun yang sama.
Di kota Solo, Gesang memiliki suara khas. Ia tekun mengembangkan diri sebagai penyanyi. Hingga pada 1940, di usia 23 tahun, Gesang menciptakan lagu yang sangat populer saat itu, ‘Bengawan Solo’. Bengawan Solo menjadi lagu yang sangat dikenang pada masa sekarang, dan masih banyak yang menikmati lantunan melodinya.
Reporter: Fiolita Dwina Astari