Ika Natassa, Pegawai Bank yang Mahir Merangkai Kata

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Ika Natassa adalah penulis terkenal kelahiran Medan, 15 Desember 1977. Sebelum menjadi penulis terkenal, Ika bekerja sebagai pegawai bank ternama di Indonesia.

Menulis merupakan passion seorang Ika. Dari awal, Ika tidak pernah menjadikan penulis sebagai profesi yang ia cita-citakan. Ia justru bermimpi menjadi seorang diplomat agar dapat menjelajahi dunia.

Namun pada akhirnya, Ika malah menjadi pegawai bank. Di tengah kesibukan karirnya saat itu, Ika tetap menyempatkan diri untuk tetap melakukan hobi yang sekaligus passion-nya yaitu menulis.

Dalam menulis, Ika memiliki gaya menulisnya sendiri. Ia kerap menulis cerita dengan tema percintaan dan memasukkan potongan kehidupan (slice of life) yang sering terjadi di masyarakat.

Ia mencoba peruntungannya di dunia tulis dengan mengirimkan naskahnya ke penerbit Gramedia Pustaka tahun 2006. Novel pertamanya yang berjudul “A Very Yuppy Wedding” terbit setahun kemudian.

Tak puas sampai di situ, Ika terus merangkai kata, menulis karya-karya lain yang tak kalah indah. Ada pun karya tulis seorang Ika Natassa, di antaranya:

  1. A Very Yuppy Wedding (2007)
  2. Divortiare (2008)
  3. Underground (2010)
  4. Antologi Rasa (2011)
  5. Twivortiare (2012)
  6. Critical Eleven (2015)
  7. The Architecture of Love (2016)

 

Reporter: Tashyarani Edi Putri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Media Sosial sebagai Alat Propaganda: Tantangan Etika dalam Pengelolaan oleh Pemerintah

Mata Indonesia, Jakarta - Di era digital, media sosial telah menjadi saluran utama komunikasi massa yang memfasilitasi pertukaran informasi dengan cepat. Dalam kerangka teori komunikasi, media sosial dapat dilihat sebagai platform interaksi yang bersifat dialogis (two-way communication) dan memungkinkan model komunikasi transaksional, di mana audiens tidak hanya menjadi penerima pesan tetapi juga pengirim (prosumer). Namun, sifat interaktif ini menghadirkan tantangan, terutama ketika pemerintah menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.
- Advertisement -

Baca berita yang ini