Febri Diansyah Mundur dari Kabiro Humas KPK, Gegara Revisi UU KPK?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Kabiro Humas) KPK Febri Diansyah memutuskan mundur. Pengunduran dirinya diajukan lewat surat sejak 18 September 2020 lalu.

Febri mengaku akan tetap berjuang di jalur pemberantasan korupsi namun dengan payung yang berbeda. Momentum revisi Undang-Undang KPK disebut Febri sebagai titik balik hingga akhirnya keputusan berat itu diambilnya.

“Kurang lebih 1 tahun setelah revisi UU KPK disahkan di DPR, saya ingat betul, 17 September 2019 revisi UU KPK disahkan tapi kami tidak langsung meninggalkan KPK. Pada saat itu kami bertahan di dalam dan berupaya untuk bisa berbuat sesuatu agar tetap bisa berkontribusi untuk pemberantasan korupsi,” katanya, Kamis 24 September 2020.

Mantan juru bicara KPK itu mengungkapkan bahwa ia akan membangun kantor hukum publik yang menjamah isu-isu pemberantasan korupsi. Dia menepis adanya persoalan pribadi di balik pengunduran dirinya itu.

“Ada rencana, ada diskusi juga dengan beberapa orang teman untuk membangun, rencana ke depan, membangun sebuah kantor hukum publik yang concern pada advokasi antikorupsi khususnya advokasi terhadap korban korupsi, kemudian perlindungan konsumen, selain jasa hukum lainnya yang dilakukan dengan standar integritas,” ujarnya.

Dalam surat pengunduran dirinya, Febri mengemukakan kisahnya kala memulai karier di KPK hingga alasan pengunduran dirinya. Ia menilai saat ini kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK.

“Setelah menjalani situasi baru tersebut selama sekitar 11 bulan, saya memutuskan jalan ini, memilih untuk mengajukan pengunduran diri dari institusi yang sangat saya cintai, KPK,” ujarnya dalam surat pengunduran diri tersebut.

Ia pun memohon maaf, jika ada segala perbedaan pendapat selama bekerja sama di KPK. “Semua itu tidak pernah saya tempatkan sebagai persoalan pribadi, melainkan semata karena hubungan pekerjaan yang professional,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini