MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang mengira kalau almarhum Teungku Hasan Muhammad di Tiro adalah satu peminat atas pemikiran filsuf Nietzsche. Pendiri Gerakan Aceh Merdeka ini dikenal sebagai salah satu pengutip Nietzsche yang brillian.
Buah pemikiran itu termaktub dalam goresan Price of Freedom : The Unfinished Diary, sebuah catatan harian selama memimpin perlawanan di hutan-hutan Aceh, dokumen warisan dari perjuangan untuk pembebasan.
Dalam konteks Aceh kekinian, membaca dan mendalami Price of Freedom, yang ditulis Hasan Tiro adalah juga sama penting dengan membaca konsep ubermensch dan Sabda Zarathustra-nya Nietzsche.
Hasan Tiro mulai jatuh hati dengan pemikiran Nietzsche, ketika sedang menempuh pendidikan di Barat. Ini menjadi salah satu tonggak penting bagi pandangannya untuk merancang konstruksi Aceh masa depan. ia seringkali mengutip Nietzsche di dalam berbagai tulisan dan pidato-pidatonya. Thus Spoke Zarathustra (Sabda Zarathustra) adalah sisi spiritualitas Nietzsche yang di terjemahkan Wali bagi dirinya sebagai ‘a wanderer and a mountain climber’, yang dengan segenap kekuatan hati mengalahkan perasaan kesendiriannya.
Sebagaimana imajinasi Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra-nya, Tiro juga mengartikulasikan setiap perjalanan menuju puncak kemenangan dengan menggabungkan romantisme, historisitas dan sisi spiritualitas Islam Aceh ke dalam ramuan pemikiran dan kacamata Barat sebagai representasi dunia.
Kesendirian (loneliness)yang dirasakan oleh pemuda Tanjong Bungoeng ini juga semakin meneguhkan spirit perlawanannya, yang tentunya di samping terinspirasi dari kesyahidan Tiroisme, spiritualias kesyahidan Husein di Karbala (Tiro, 1981 ; 208-211) juga berangkat dari konsep ubermensch (manusia melampaui) yang direkonstruksi oleh Nietzsche.
Ubermensh adalah sebuah konsep tentang cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri, otonom sebagai manusia tanpa batas, tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dalam terminologi Aceh, ini dapat diartikan bagaimana orang Aceh memperkenalkan dan memposisikan diri kepada dunia.
Barangkali ada benarnya kalau Tiro adalah pengikut Nitzsche atau Nitzschean yang dengan segala kemendalaman berfikirnya telah mampu mencabut akar terdalam dari fondasi konsep orang Aceh, sebagai ‘Bansa Teuleubeh’ (melampaui) sebagai manusia dunia (ureung doenya), yang dalam aforisme-aforisme Nietzsche disebut dengan samudera raya. Pun Manusia-manusia Aceh yang diimpikan Hasan Tiro adalah manusia-manusia melampaui, yang teguh pendirian, gigih berjuang dan memposisikan diri sebagai pemaju peradaban dunia.