Sebelum Bom Meledak, Ternyata Intelijen India Sudah Peringatkan Sri Lanka

Baca Juga

MINEWS, INTERNASIONAL – Intelijen India kabarnya sudah memberitahukan peringatan ancaman serangan teroris, sebelum bom meledak secara beruntun yang menyasar hotel dan gereja di Sri Lanka pada Minggu 21 April 2019 lalu.

Bahkan, informasi waspada serangan kelompok militan tersebut sudah diterima intelijen Sri Lanka sebelum tragedi nahas tersebut terjadi dan menewaskan lebih dari 300 orang.

Informasi itu telah dikonfirmasi oleh sumber dari Departemen Pertahanan Sri Lanka dan sumber dari pemerintah India tepat dua jam sebelum serangan pertama terjadi. Namun, tampaknya Sri Lanka tak melakukan antisipasi apa-apa usai menerima informasi tersebut.

Salah satu orang dalam pemerintahan Sri Lanka mengatakan, peringatan itu bahkan sudah didapatkan pada Sabtu malam. Ada juga peringatan serupa yang diberikan intelijen India sejak 4 April 2019 lalu.

Hingga saat ini, pemerintah Sri Lanka maupun kementerian luar negeri India belum memberikan respons resmi terkait hal itu.

Sebelumnya, serangkaian serangan bom bunuh diri terjadi pada Minggu Paskah di Sri Lanka yang menyasar tiga gereja dan empat hotel, dengan jumlah korban tewas 321 orang dan 500 lainnya luka-luka.

Sri Lanka yang tadinya dikenal sebagai negara damai selama satu dekade terakhir, tiba-tiba kembali mencekam. ISIS mengklaim serangan tersebut adalah tanggung jawab mereka, meskipun klaim tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti yang kuat.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini