MATA INDONESIA, JAKARTA – Serangan tipe ‘lone wolf’ atau pelaku tunggal masih jarang terjadi namun pergerakannya patut diwaspadai di Indonesia. Strategi ini kerap digunakan oleh organisasi teror yang besar agar tidak membahayakan keutuhan organisasi mereka.
Definisi ‘lone wolf’ atau pelaku tunggal tidak hanya dinilai dari jumlah pelakunya yang satu orang melainkan tujuan dalam melancarkan aksi ini didasari oleh keinginan pribadi atau inistiatif sendiri.
Apabila strategi lone wolf terus mendapat pembiaran dikhawatirkan bisa menjadi inspirasi untuk orang lain. Maka penangkalan terhadap paham radikalisme harus dilakukan secara serius.
Mengingat paham-paham radikalisme mampu mempengaruhi lone wolf untuk semakin tertarik untuk melakukan aksi teror. Salah satunya yaitu tindakan amaliah. Teroris lone wolf umumnya menyerang aparat keamanan dengan menggunakan seluruh peralatan senjata tajam dan merakit bom sendiri.
Kepolisian pun terus mengawasi pergerakan teroris ‘lone wolf’ yang tersebar di sejumlah daerah supaya jumlahnya tidak semakin banyak sehingga bisa menjadi kekuatan baru untuk organisasi teroris.
Sementara pengamat Intelijen dan Terorisme, Stanislaus Riyanta menekankan peran keluarga untuk mencegah lone wolf atau pelaku tunggal terus berkembang biak.
“Perkuat ketahanan keluarga dan pendampingan masyarakat agar mampu melakukan deteksi dini dan cegah ini, karena yang bisa mengenali dan mendeteksi pertama kali adalah keluarga atau orang terdekat,” kata Stanislaus saat berbincang bersama Mata Indonesia, 26 Januari 2021.
Intinya, pencegahan berkembangnya terorisme pada tingkat keluarga merupakan kunci utama untuk mencegah ideologi tersebut berkembang di masyarakat.